Zona Risiko Riset dan Gagalnya Sistem Pendidikan Kapitalistik

Baru-baru ini, masyarakat kembali dikejutkan oleh laporan yang menyebutkan bahwa 13 perguruan tinggi di Indonesia masuk dalam zona risiko riset. Hal ini terungkap melalui sistem pelaporan kinerja riset dan pengabdian kepada masyarakat yang diluncurkan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), sebagaimana diberitakan oleh Tempo (5 Juli 2025).
Data ini bukan sekadar temuan administratif biasa, melainkan cerminan dari krisis struktural dan ideologis yang sudah lama menghantui dunia pendidikan nasional. Fakta ini memperlihatkan kepada kita bahwa sistem pendidikan hari ini tengah berada dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Alih-alih mencerdaskan kehidupan bangsa, ia justru tersandera oleh kepentingan kapitalistik yang menjadikan ilmu dan pendidikan sebagai komoditas semata.
Fenomena ini tidak muncul dalam ruang hampa. Sistem pendidikan kita dibentuk dan dijalankan di bawah naungan paradigma kapitalisme global, yang menempatkan segala sesuatu pada logika untung-rugi, pasar, dan persaingan. Kampus pun diperlakukan layaknya korporasi. Para rektor berperan seperti CEO yang harus menggenjot produktivitas institusinya, dosen dibebani target publikasi demi akreditasi dan pemeringkatan, sementara mahasiswa diposisikan sebagai konsumen yang dituntut menghasilkan angka-angka statistik yang impresif. Dalam sistem seperti ini, nilai-nilai luhur keilmuan seperti kejujuran akademik, integritas intelektual, dan semangat mencari kebenaran menjadi korban.
Tak mengherankan jika kemudian bermunculan berbagai praktik manipulatif dalam dunia riset, seperti plagiarisme, data palsu, hingga publikasi di jurnal predator. Semua ini dilakukan demi memenuhi indikator-indikator kuantitatif yang ditetapkan oleh sistem. Ilmu pengetahuan pun kehilangan kesuciannya. Ia tidak lagi menjadi jalan untuk mengenal kebenaran dan menebar manfaat, melainkan sekadar alat untuk meraih pengakuan, kenaikan jabatan, atau kelulusan.
Kondisi ini menunjukkan bahwa sistem pendidikan hari ini lebih banyak melahirkan generasi mekanis. Mereka dibentuk untuk menjadi bagian dari mesin industri global, tahu cara hidup, tapi tidak tahu untuk apa hidup. Mereka mahir dalam menyelesaikan soal-soal teknis, tapi miskin makna dan arah hidup. Padahal, pendidikan semestinya menjadi sarana untuk membentuk manusia seutuhnya—berilmu, berakhlak, dan berkontribusi nyata dalam membangun peradaban.
Sebagai solusi fundamental atas krisis ini, sistem pendidikan Islam hadir dengan tawaran yang menyeluruh dan ideologis. Dalam pandangan Islam, pendidikan bukan semata proses mentransfer ilmu atau mencetak tenaga kerja, melainkan proses membentuk kepribadian Islam yang utuh. Pendidikan adalah sarana untuk mengantarkan manusia agar memahami hakikat hidupnya, mengenal Rabb-nya, serta mampu menjalankan peran sebagai hamba dan khalifah di muka bumi.
Dalam sistem pendidikan Islam, kurikulum dirancang dengan basis akidah Islam. Ilmu apa pun—baik itu sains, teknologi, ekonomi, maupun sosial—diajarkan dalam kerangka pandangan hidup Islam (Islamic worldview). Ilmu tidak diajarkan secara sekuler, melainkan diposisikan sebagai amanah yang harus digunakan untuk kemaslahatan umat dan sebagai jalan mendekatkan diri kepada Allah. Proses pembelajaran pun dilakukan dalam suasana yang kondusif terhadap pembentukan kepribadian Islam.
Para guru dan dosen dalam sistem pendidikan Islam tidak hanya berfungsi sebagai pengajar, melainkan juga sebagai pendidik sejati yang membimbing akal dan ruh peserta didiknya. Mereka tidak sekadar mengajar teori, tetapi juga menanamkan nilai-nilai Islam, membina akhlak, dan menjadi teladan dalam kehidupan. Negara dalam sistem Islam (Khilafah) memiliki tanggung jawab penuh dalam menyediakan pendidikan berkualitas dan gratis untuk seluruh rakyat, tanpa diskriminasi dan tanpa menyerahkan tanggung jawab itu pada mekanisme pasar.
Sejarah telah menunjukkan keberhasilan sistem pendidikan Islam dalam mencetak generasi unggul yang mampu memimpin peradaban dunia. Universitas Al-Qarawiyyin di Maroko dan Al-Azhar di Mesir menjadi pusat ilmu pengetahuan yang melahirkan ilmuwan besar seperti Ibn Sina, Al-Farabi, Al-Khawarizmi, dan banyak lainnya. Mereka tidak hanya menguasai ilmu dunia, tetapi juga memiliki akidah yang kuat dan akhlak yang luhur. Mereka tidak didorong oleh target akreditasi atau insentif materi, melainkan oleh keinginan untuk menunaikan amanah keilmuan dan pengabdian kepada Allah SWT.
Oleh karena itu, solusi terhadap krisis riset dan pendidikan saat ini tidak cukup hanya dengan perbaikan teknis administratif atau revisi kebijakan birokratis. Masalah ini berakar pada sistem yang rusak, yakni sistem pendidikan yang dibangun di atas asas sekularisme dan logika kapitalisme. Maka, solusi hakikinya adalah mencampakkan sistem yang rusak ini dan menggantinya dengan sistem pendidikan Islam yang berbasis akidah dan syariah Islam.
Sudah saatnya kita sebagai umat Islam menyadari bahwa pendidikan bukan sekadar alat mobilitas sosial, tapi kunci utama dalam membentuk peradaban.
Kita perlu kembali bertanya: untuk apa kita belajar? Untuk siapa ilmu ini dituntut? Dan ke mana arah pendidikan ini akan membawa generasi muda kita? Islam memiliki jawaban yang sahih, menyeluruh, dan solutif. Ia hadir bukan hanya untuk dunia, tetapi juga untuk akhirat. Bukan untuk angka, tapi untuk makna. Dan bukan untuk kepentingan individu semata, tapi untuk kemuliaan umat secara kolektif. Wallahu a’lam bishshawab. []
Saffanah Ilmi Mursyidah, Mahasiwa dan pemerhati isu-isu umat dan sosial politik Islam. Aktif menulis di berbagai media dakwah. IG: @sffnami