Ngawurisasi Survei dan Koruf yang Tak Dikehendaki
Jika saya yang sudah tua dan punya wajah biasa-biasa saja, di media sosial menulis, “Saya masih muda dan ganteng” artinya saya telah bohong. Berdosa. Untuk memperkuat kalimat tadi di akun facebook saya memasang foto cowok muda, atletis, dan ganteng (kaya raya pula) yang saya akui sebagai saya, maka perbuatan ini disebut menipu. Dosa juga.
Berbohong itu dosa. Menipu juga dosa. Tapi, kalau melihat effort yang dilakukan untuk kedua perilaku tersebut, rasanya dosa menipu lebih besar ketimbang berbohong.
Tapi, ada dosa lain yang lebih besar. Statistik. Berbohong dengan menggunakan atau mengutak-atik angka-angka statistik adalah dosa besar. Bayangkan, bagaimana keblingernya sebuah kebijakan impor beras, misalnya, jika didasarkan pada angka-angka statistik yang dimanipulasi. Dampaknya, petani yang jumlahnya jutaan bahkan mungkin belasan atau puluhan juta akan dirugikan.
Tahukah anda, ada dosa lain yang tidak kalah gawatnya. Hari-hari ini tengah banjir rilis beragam survei seputar Pilpres. Ada belasan lembaga yang mencari uang dengan cara ini. Dan, mohon maaf, sebagian besar tidak kredibel. Penyebabnya, mereka penyelenggara survei pesanan Paslon dan atau bala-kurawanya yang berkontestasi pada ajang Pilpres.
Bagaimana mereka bisa disebut kredibel, kalau rilis hasil surveinya melenceng jauh? Padahal, mestinya, survei adalah proses intelektual didasarkan pada teori ilmiah statistik. Hasilnya terukur dan bisa dipertanggungjawabkan. Tentu saja, sebagai manusia yang tak luput dari salah dan keliru, mereka cantumkan margin of error, biasanya berkisar 2-3%.
Sayangnya, ya itu tadi, angka-angka statistik mereka kutak-katik seenak udelnya sendiri. Mau lihat contohnya? Di Pilkada Jateng perolehan suara Sudirman Said-Ida adalah 41,22%. Tapi di tangan para intelektual yang melacurkan diri demi sesuap nasi, segenggam berlian, beberapa unit ruko dan apartemen, dan seterusnya dan lainnya itu, angka-angkanya dipasang sebagai berikut:
LSI Denny JA = 13% (error 217%), Charta Politica = 13,6 (error 203%), dan Litbang Kompas = 15% (error 174%). Berikutnya, lembaga survei Indikator = 21% (error 76%) serta Indo Barometer dan SMRC masing-masing 21 (error 75 %) dan 22,6% (error 82%).
Dengan error yang ratusan persen, masih layakkah disebut margin of error? Jelas itu adalah kengawuran yang luar biasa. Kalau sudah begini, tujuan (mulia) survei yang sejatinya untuk memetakan kondisi (mendekati) sebenarnya di lapangan jadi terbang entah ke mana.