NUIM HIDAYAT

Kenangan Indah Bersama Hizbut Tahrir

Meski sudah 24 tahun saya meninggalkan Hizbut Tahrir, tapi saya tetap kangen untuk ngaji kitab-kitab HT. Karya-karya Taqiyudin an-Nabhani –pendiri Hizbut Tahrir- mencerahkan. Saya bisa membaca ‘kitab gundul’ karena kitab yang dikarangnya.

Sewaktu mahasiswa, hampir tiap hari saya membaca kitab HT. Dibantu dengan Kamus Arab Indonesia, karya Mahmud Yunus. Alhamdulillah akhirnya saya bisa membacanya.

Pertama kali saya ngaji HT, adalah kepada Ustadz Abdurrahman al Baghdadi (pembawa HT ke Indonesia). Saya mendengar uraiannya tentang khilafah Islamiyah. Waktu mendengar itu, saya sempat mau tanya berkaitan dengan ayat al Qur’an surat an Nisa’ ayat 1. Di mana di situ Allah menjelaskan tentang penciptaan manusia yang berbangsa-bangsa dan bersuku-suku. Tapi karena saya baru mengikuti pengajian Ustadz Abdurrahman, saya ‘enggan’ untuk bertanya. Peristiwa itu terjadi ‘tahun 1987’, ketika saya baru kuliah di Institut Pertanian Bogor.

Sejak mengikuti kajian yang dilakukan HT, saya ‘sudah malas’ untuk kuliah. Saya lebih semangat ngaji daripada kuliah. Kitab-kitab HT yang ditulis Taqiyudin an-Nabhani mencerahkan dan membuat saya penasaran terus membacanya. Dengan Ustadz Abdurrahman ngaji Sistem Ekonomi dalam Islam dan makalah-makalah yang ditulisnya. Dengan Ustadz Musthafa Abdullah bin Nuh, ngaji Muqaddimah Dustur (Konstitusi Islam). Dengan Ustadz Abbas Aula ngaji Fikrul Islam dan Haditsush Shiyam. Dengan Ustadz Hanan ngaji Aqidah Washithiyah dan Siyasah Syar’iyah karya Ibnu Taimiyah.

Selain ngaji, saya juga membantu Ustadz Abdurrahman menulis terjemahan kitab-kitab HT bersama Ustadz Musthafa dan Ustadz Abbas. Jadi kedua Ustadz itu membacakan terjemahan kitab-kitab itu dan saya menuliskannya. Dengan Ustadz Musthafa biasanya saya pergi setelah Subuh dan naik angkot menuju Pesantren Al Ghazali di dekat Terminal Merdeka. Ustadz membacakan terjemahan sebuah kitab dan saya menulisnya dengan pena di sebuah kertas. Setelah sampai tempat kos (‘Jalan Lodaya 17’), esok harinya saya menyalinnya di mesin ketik. Begitu pula dengan Ustadz Abbas.

Hasil terjemahan para ustadz itu kemudian diambil para senior aktivis HT dan kemudian ‘dibagikan ke teman-teman yang lain.’

Budaya ilmu yang ditumbuhkan HT saat itu, benar-benar membuat saya bahagia. Saya ingin selalu baca dan baca buku-buku karya Taqiyudin. Bagi saya Taqiyudin adalah ulama besar yang setaraf dengan Hasan al Bana, Sayid Qutb, Abu A’la Maududi dan Mohammad Natsir. Mereka adalah para arsitek yang mengarahkan umat agar bangga dengan peradabannya sendiri. Mereka adalah perintis dan penggerak agar umat dapat mewujudkan kembali Khilafah Islamiyah yang diruntuhkan Zionis dan Barat pada tahun 1924.

Dalam halaqah-halaqah HT, selain dibahas kitab-kitab karya Taqiyudin, sering juga dibahas makalah-makalah yang ditulis Ustadz Abdurrahman. Ustadz juga berlangganan majalah Al Wa’ie dan biasanya dibagikan ke teman-teman HT.

Suatu saat saya pernah melihat Ustadz membawa kitab-kitab berbahasa Arab yang banyak sekali. Kabarnya kitab-kitab itu dari LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Bahasa Arab), tempat Ustadz Abdurrahman mengajar. Ustadz sempat  di LIPIA beberapa tahun, tapi kemudian ‘dikeluarkan’ karena ia menulis buku kecil ‘Haramnya Meminta Bantuan Militer dari Amerika’. Peristiwa itu terjadi ketika Arab Saudi meminta bantuan militer Amerika, karena Irak (Saddam Husein) menyerang Kuwait.

***

1 2 3 4 5 6Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button