MUI Tolak Judicial Review UU Perkawinan
Jakarta (SI Online) – Majelis Ulama Indonesia (MUI) menolak uji materi (judicial review) terhadap Undang Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan.
Sebelumnya, gugatan uji materi ke Mahkamah Konstitusi dilayangkan oleh E.Ramos Petege, warga asal Kampung Gabaikunu, Mapia Tengah, Papua. Ia merasa dirugikan atas pemberlakuan UU tersebut setelah gagal menikah dengan calon pasangannya yang beragama Islam.
Dikutip dari situs resmi MUI, Sekjen MUI Buya Amirsyah Tambunan mengatakan, nikah beda agama bertentangan dengan konsitusi karena adanya jaminan, kemerdekaan dan kebebasan beragama yang dijamin Pasal 29 Ayat (1) dan (2) UUD 1945.
Buya Amirsyah mengungkapkan, secara yuridis, berdasarkan Undang Undang No.1 Tahun 1974 sebagaimana diubah menjadi Undang Undang Nomor 16 Tahun 2019 telah ditegaskan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri.
Oleh karena itu, kata Buya Amirsyah, tujuan membentuk keluarga atau jalinan rumah tangga antara pasangan suami istri yang bahagia dan kekal, berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagaimana agamanya.
Selain itu, Buya Amirsyah mengatakan, perkawinan sesuai dengan falsafah Pancasila bercita-cita untuk pembinaan rumah tangga yang tenang, bahagia, dan kasih sayang atau dalam Islam dikenal sebagai sakinah, mawaddah, dan warahmah.
Sementara itu, dia menilai, perbedaan agama dengan pasangan yang beragama Muslim dan Non Muslim hal itu jelas bertentangan dengan Undang Undang Perkawinan.
“Karena itu fakta yang terjadi, ketika pernikahan beda agama antara mempelai pria dan wanita tidak berlangsung lama. Karena salah satu fakta bahwa berbeda keyakinan membuat gagalnya rumah tangga,” ungkapnya.
Dengan demikian, Buya Amirsyah menilai, sudah tepat adanya aturan syarat sahnya suatu perkawinan yang diatur dalam ketentuan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Dalam UU ini dikatakan bahwa suatu perkawinan sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu; dan di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.