OPINI

Prabowo Sosok Enigma

Sampai pilpres 2019, Prabowo Subianto masyhur sebagai tokoh keras, tegas, cerdas, dan bebas. Dan ia punya mimpi besar menjadikan Indonesia sebagai “Macan Asia”.

Para pendukungnya terpesona, yang lalu melahirkan militansi. Seluruh karakter dan citra diri Prabowo ini meyakinkan sebagian masyarakat bahwa dialah tokoh “yang diutus langit” untuk membebaskan bangsanya dari bermacam-macam mafia, yang bekerja untuk kepentingan sendiri. Terutama, kesepakatan-kesepakatan jahat di bawah meja antara oligarki dan penguasa.

Prabowo menegaskan, sambil menggebrak meja berulang-ulang, bahwa bangsa ini sangat kaya. Tetapi kekayaan itu hanya dinikmati segelintir orang. Sumber daya alam kita yang melimpah dihisap kekuatan asing dan tak kurang dari 30 persen anggaran pembangunan dikorupsi secara berjamah. Inilah sumber kemelaratan rakyat.

Padahal, merekalah pejuang sesungguhnya bagi kemerdekaan RI. Prabowo benar. Maka, demi perjuangan bagi tegaknya kedaulatan dan keadilan ekonomi seluruh rakyat, ia akan timbul tenggelam bersama rakyat.

Walakin, sikap dan pikiran Prabowo yang patriotik ini pudar dengan cepat ketika ia memutuskan bergabung dengan rezim Mulyono, musuh yang mengalahkannya dalam dua pilpres. Sebagian pendukungnya langsung lari seperti semut dikejar api. Sebagian lain bertahan dengan berusaha menelan dengan susah payah argumen Prabowo bahwa ia berserah diri pada Mulyono demi keselamatan bangsa.

Padahal, baru kemarin ia mengeluarkan triliunan rupiah untuk mengalahkan Mulyono yang dipandang telah menjual negeri ini kepada asing dan berkomplot dengan oligarki untuk memeras rakyat.

Alhasil, sejak bergabung dengan pemerintahan Mulyono, Prabowo hilang tiada sisa. Sebaliknya, lenyapnya oposisi kubu Prabowo, justru membuat Mulyono leluasa mempercepat pembusukan negeri ini. Korupsi kian menakutkan, KKN berkembang biak, demokrasi merosot, dan indeks pembangunan manusia melorot.

Alhasil, kekayaan negara kian deras mengalir keluar, oligarki bertambah kuat, proyek-proyek mercusuar yang tidak ekonomis dan saintifik bertambag banyak, utang meningkat, kelas menengah terjerembab, dan kemiskinan meluas. Sementara Prabowo memuji Mulyono sebagai guru politiknya.

Pendukung fanatik Prabowo berdalih bahwa kesediaan pemimpin mereka menjadi anak buah Mulyono adalah sebuah strategi untuk mengubah rezim dari dalam. Tentu saja ini omong kosong. Mana ada anak buah mengubah bos. Yang umum terjadi adalah anak buah “sami’na wa ata’na” kepada majikannya.

Itulah yang terjadi pada Prabowo. Ia tidak lagi bermimpi menjadikan Indonesia “Macan Asia”, melainkan “Macan Solo.” Prabowo semakin meragukan ketika tugas yang diberikan Mulyono untuk menciptakan food estate di Kalimantan gagal total. Sementara, menurut Green Peace, hutan yang ditebang untuk proyek ini seluas 6.000 kali luas lapangan sepak bola.

Tapi cita-citra Prabowo menjadi presiden tercapai. Apakah cita-cita inilah yang membuat ia bersedia mengamini semua hal buruk yang dilakukan Mulyono? Sangat mungkin.

Harus kita akui, pasca reformasi 1998, pilpres 2024 merupakan pilpres terburuk. Mulyono mengerahkan semua sumber daya negara untuk memenangkan Prabowo, berpasangan dengan Fufufafa yang telah menghina Prabowo dan keluarganya di luar batas budaya.

1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button