FOKUS MUSLIMAH

Barbie: Not Just a Movie?

Film Barbie layaknya masih menjadi perbincangan hangat hingga kini. Film yang release Juli lalu tersebut kononnya menghantarkan pada total pendapatan mencapai 750 juta dolar AS atau setara Rp 11,3 trilliun selama 10 hari penayangannya (Kompas.com, 31/7/2023).

Sekalipun sangat fenomenal dan ramai di berbagai negara, terdapat sejumlah negara yang melarang penayangan film ini, dua diantaranya adalah Lebanon dan Kuwait. Dilansir oleh Liputan6.com (11/8/2023), pelarangan film ini karena disinyalir mengandung unsur homoseksualitas yang bertentangan dengan etika publik.

Sekalipun menceritakan soal tokoh Barbie yang selama ini begitu lekat dengan dunia anak-anak, namun sejatinya film live action Barbie ini sama sekali tidak cocok untuk dijadikan tontonan anak. Beberapa sebabnya sebagaimana disebutkan dalam parents guide oleh IMDb.com, ada konten dewasa dan ketelanjangan, kekerasan, kata-kata kotor, alkohol, narkoba, dan rokok, serta adegan menakutkan dan intens.

Jika kita simak alur film Barbie ini dan scene-scene di dalamnya, kental sekali muatan soal kritik sosial di dalamnya, yakni terkait budaya patriarki. Tentu saja dengan ide yang menyertainya yakni kesetaraan gender, atau sering juga disebut sebagai feminisme. Sudah bukan rahasia bahwa food, fun, fashion, terlebih film adalah media yang sangat efektif sebagai sarana untuk menyampaikan ide atau pun pesan tertentu secara halus dan tidak disadari.

Ide ini dikemas dengan apik dalam rangkaian scenenya, sehingga membuat penonton akan merasa film ini begitu relate dengan kondisi perempuan hari ini. Dari soal standar kecantikan, kekerasan seksual, hingga tatanan sosial yang terus digugat yakni budaya patriarki. Maka tidak heran, jika banyak penonton yang merasakan semangat yang sama, nuansa perjuangan perempuan yang sama, yang harus banyak dicontoh kaum perempuan dari sosok Barbie yang diperankan oleh Margot Robbie tersebut.

Tidak bisa dipungkiri bahwa permasalahan yang ada di dunia Barbie sebagaimana telah disebutkan memang banyak kita saksikan hari ini, menunjukkan bahwa kaum perempuan memang berada di tengah badai masalah.

Dimulai dari standar kecantikan yang materialistik misalnya. Diakui maupun tidak, standar penilaian kehidupan hari ini selalu bersifat fisik, menilai segala sesuatu semata dari yang nampak. Cara termudah mengenalinya adalah bisa kita saksikan dari ajang-ajang kecantikan yang terus diramaikan dari tahun ke tahun. Putri Indonesia, Miss Indonesia, Miss Universe, Miss World, Miss Earth, apapun namanya. Standar kecantikan yang diakui semata soal fisik, langsing, putih, tinggi semampai, kulit bersih, dan penilaian fisik lainnya. Sebagaimana awalnya, Barbie pun sama, rambut blonde, tinggi, langsing. Kemudian image-nya diubah oleh perusahaan Mattel dengan lebih beragam untuk menjangkau pasar yang lebih luas.

Standar kecantikan yang begitu materialistik ini sejatinya adalah manifestasi paham liberalisme yang berujung pada dijadikannya perempuan sebagai objek. Atas nama kebebasan, perempuan bebas mengekspresikan diri, mengekspos kecantikan dan kemolekan tubuhnya. Pada akhirnya, yakni sebagaimana objek, dia dinilai indah dan cantik selayaknya menilai barang atau benda mati.

Tidak jauh dari sana, mencuat permasalahan pelik kaum perempuan berikutnya, yakni soal kekerasan seksual. Perempuan tidak lagi mendapatkan kemuliaan dan kehormatan yang seharusnya melekat padanya. Tapi sekarang justru dijadikan sebagai objek pelampiasan syahwat. Kekerasan seksual ini adalah masalah kompleks yang berkelindan dengan pendidikan, media, pun pergaulan.

Dalam pendidikan hari ini, tidak pernah diajari bagaimana mengenal perempuan dan kehormatan yang melekat padanya, serta batasan-batasan yang terkait, sehingga bisa memperlakukannya sebagaimana mestinya. Di samping, kurikulum pendidikan saat ini juga tidak mencetak pribadi-pribadi yang bertakwa. Sebab dari awal agama memang sudah tidak mendapatkan tempat dalam pengaturan kehidupan.

Ini juga merembet pada pengaturan media dan pergaulan. Media tidak terkontrol, pornografi bisa dengan bebas diakses, konten-konten merangsang syahwat bertebaran. Walhasil, dalam dunia nyata, syahwat yang terpancing pun menemukan muaranya. Dilampiaskan dengan terbukanya celah yang begitu lebar. Pergaulan bebas, campur baur, berdua-duaan (khalwat) dengan yang bukan mahram.

Sekali lagi, bahwa semua yang terjadi di atas adalah buah dari dijadikannya perempuan hanya sebatas objek. Berkelindan dengannya, cara pandang sekuler-liberal yang terus diaruskan di tengah kehidupan kita dewasa ini. Jadi, inilah akar masalah sebenarnya dari kaum perempuan. Maka solusi untuk mengentaskannya, tidak lain yakni dengan mencabut akar masalahnya. Uninstall paham sekuler-liberal, dan menggantinya dengan paham dan sistem kehidupan yang baru. Sistem kehidupan yang akan memuliakan perempuan dan menjaga kehormatannya, mewujudkan kehidupan ideal bagi perempuan.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button