SUARA PEMBACA

Benang Merah Pemindahan Ibu Kota Negara

Dari pemaparan diatas, ada beberapa poin yang dinilai terlalu dipaksakan. Seperti pada poin jaringan energi dan air bersih, hal ini menyalahi fakta karena air bersih merupakan PR yang masih belum terselesaikan di Kaltim. Belum lagi masalah energi dalam hal ini listrik, secara fakta Kaltim sendiri masih mendapat subsidi dari daerah lain. Selain itu, bencana alam pun tak pernah luput menyinggahi Kaltim. Sebut saja banjir parah di Samarinda, bahkan karhutla di Kaltim menempati posisi kedua terparah. Sedangkan poin-poin lainnya hanyalah pelengkap yang dimiliki pula oleh daerah lain.

Alasan yang diada-adakan serta banyaknya pakar ekonomi, sosial dan tata kelola kota yang mengganggap tidak ada urgensinitas untuk memindahkan ibu kota menjadi bukti bahwa ada upaya terselubung di balik semua ini, bisa jadi karena kepentingan “lain”.

Kita ketahui bersama bahwa sebelum wacana ini bergulir Indonesia telah menandatangani perjanjian investasi dengan China melalui OBOR. OBOR sendiri merupakan mega proyek yang digagas oleh pemerintahan China untuk membuat jalur sutra atau jalur perdagangan dunia. Hal ini pun disampaikan secara terbuka pada Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT) di Beijing, China.

Pertemuan KTT tersebut membahas kerjasama ekonomi dan pengembangan proyek infrastruktur dan berhasil merangkul 65 negara di Asia, Afrika, dan Eropa. Indonesia sendiri telah membuat perjanjian politik dan menandatangani sekitar 28 proyek raksasa ke China senilai Rp1.296 triliun yang 50% (15 proyek) berada di Kalimantan dan 13 proyek lainnya berada di Kaltara.

Proyek-proyek tersebut tentu harus segera di muluskan jalannya. Apalagi mengingat track record banyaknya proyek-proyek aseng (China) di Jakarta yang mangkrak karena ketegasan Gubernur Anies Baswedan seperti Meikarta dan proyek reklamasi. Tidak ingin gagal untuk kesekian kali maka perlu alasan yang tidak bisa dibantahkan untuk memuluskan proyek OBOR di Kaltim dan sekitarnya. Wacana pemindahan ibu kota , jadi alasan tepat tentunya.

Berkaca dari jerat investasi china ke negara-negara lain yang memperlihatkan arogansi China untuk menguasai negara tersebut dengan skema utang luar negeri, harusnya menjadi pembelajaran bagi kita, Indonesia. Cukuplah Nigeria yang diberikan pinjaman oleh China yang disertai perjanjian merugikan yaitu penggunaan bahan baku dan buruh kasar oleh negara pemberi pinjaman dalam jangka waktu panjang. Alhasil mematikan usaha dalam negeri dan pengangguran semakin meningkat.

Belum lagi, Sri Lanka yang harus melepas Pelabuhan Hambatota sebesar Rp 1,1 triliun atau sebesar 70 persen sahamnya dijual kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) China akibat tidak dapat membayar hutang. Dan masih banyak lagi contoh lainnya.

Sejatinya keserakahan kapitalis (pemilik modal) jelas terlihat wujudnya dengan berbagai macam perjanjian yang mereka buat. Janganlah kita lugu dan menganggap semuanya sebagai bantuan tulus tanpa embel-embel karena dalam sistem kapitalis tak ada makan siang gratis. Apalagi mengamini segala kemauan mereka dengan melukiskan sejuta harapan palsu untuk masyarakat dengan iming-iming kesejahteraan di ibu kota baru. Wallahu a’lam bishawab.

Siti Subaidah
(Pemerhati Lingkungan dan Generasi, tinggal di Balikpapan)

Laman sebelumnya 1 2

Artikel Terkait

Back to top button