Desekulerisasi Politik; Urgensi Penerapan Nilai-nilai Ilahiyah Nubuwwah
Sangat mendesak. Itulah upaya membenahi konstruksi politik praktis (low politics) dewasa ini yang sarat dengan “roh” sekulerisme. Karenanya, format politik praktis saat ini seperti tercerabut dari akar nilai-nilai ideal politik (high politics), yang – secara konseptual – sungguh mulia untuk kepentingan kemanusiaan dalam dimensi keadilan, kesejahteraan dan perlindungan hak asasi, bahkan ekosistem alam dan segenap populasinya. Namun, sekulerisme yang – secara filosofi memang alergi dari percikan ketentuan keagamaan dalam wilayah publik seperti negara – maka, terjadilah deviasi atau paradoksalitas bagi kepentingan manusia.
Dan deviasi atau paradoksalitas itu dapat kita cermati dengan mudah. Sejumlah fakta perilaku politik sekuler menggambarkan betapa kepentingan sempit pribadi dan atau golongan menjadi pijakan utama dalam mengarungi politik. Sikap politik ini sejalan dengan pemikiran Lord Acton (1833 – 1902) bahwa politics is how to get what. Yang dimaksud “what” adalah kekuasaan (jabatan, kedudukan, posisi), yang – secara implisit – mengarah pada upaya memiliki otoritas atau wewenang untuk membikin keputusan-keputusan publik.
Kekuasaan yang berarti memiliki otoritas atau kewenangan tersebut bagi kaum elitis menjadi sesuatu yang sangat menggoda dan karenanya harus dikejar. Dalam hal ini, Niccolo Machiavellie, seorang Yahudi kelahiran Florence – Italia (3 Mei 1469 – 21 Juni 1527) memyampaikan pemikiran yang relatif memperkuat upaya mengejar kekuasaan: menghalalkan segala cara (moral hazard). Politik tak ada hubungannya dengan moral. Dalam berpolitik (mengejar kekuasaan) tak perlu mempertimbangkan moral. Karena itu saat mengejar kekuasaan – apalagi banyak peminat dan sangat kompetitif – tak perlu lagi mengindahkan aspek moral.
Potret Sekulerisasi Politik
Pemikiran Machiavellie yang bukan hanya sekuler tapi juga amoral itu sungguh menonjol dalam perhelatan politik praktis, meski bersistem demokrasi. Seperti kita ketahui bersama, proses politik kontestasi menuju kekuasaan sarat dengan kalkulasi biaya. Di alam demokrasi yang konon menjadi sistem terbaik dari aneka sistem lainnya yang buruk, siapapun kandidat yang siap menduduki posisi puncak sebagai kepala negara, ia atau mereka harus siap secara material dalam jumlah trilyunan rupiah yang relatif tidak rasional, jika dikaitkan dengan gaji pasca menggapai kekuasaan. Gaji resmi presiden saat ini – menurut UU No. 7 Tahun 1978 tentang Hak Keuangan/Administratif Presiden dan KEPRES No. 68 Tahun 2001 – sebesar Rp30.240.000 (enam kali gaji pokok perbulan Rp5.040.000), plus tanjangan jabatan Rp32.500.000. Total Rp62.740.000,- per bulan.
Biaya tinggi dalam berpolitik itu merupakan konsekuensi dari serangkaian etape yang tak lepas dari dana. Sebagai gambaran, proses awal pengenalan kandidat, sudah harus berbiaya untuk anggaran survei dan rekomendasinya: pemasangan baliho secara nasional dan pengembangan produk pencitraan lainnya secara intensif-produktif. Konsekuensi biaya ini masih terkategori wajar, meski menjadi persoalan dari sisi modalitas sosial. Idealnya, sang kandidat – jauh sebelum berlaga – sudah mengantongi popularitas yang bersifat alamiah. Berarti, terdapat serangkaian proses pembentukan jatidiri melalui kinerja atau lainnya yang membuat masyarakat pemilih sudah tahu persis sebelum diperkenalkan secara intensif-massif dan terencana ke arena publik. Kita perlu menggaris-bawahi, pengenalan secara instan sejatinya menunjukkan problem kualitas bagi sang kandidat, sehingga merasa perlu didongkrak populeritasnya.
Namun demikian, kita bisa memahami mengapa harus meningkatkan populeritas. Sesuai dengan aturan UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang masih berlaku saat ini, kandidat harus diusung oleh partai politik dan atau gabungan partai politik dengan minimalitas prosentasi 20% dari kursi yang ada di parlemen (DPR RI). Konsekuensinya, sang kandidat – kader partai atau non partai – haruslah populer. Populeritas itu menjadi prasyarat awal mendapatkan rekomendasi partai politik agar bisa terdaftar secara sah di Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai kandidat resmi.
Ada satu konsekuensi krusial saat bicara ketentuan ambang batas kepresidenan (presidential threshold). Pertama, akibat dari ambang batas kepresidenan, maka sebuah partai pengusung kandidat harus mengajak partai lain. Bisa hanya satu partai atau lebih. Koalisi partai yang berbasis pada kepentingan kemenangan, dari awal sudah muncul persiapan politik “dagang sapi”. Kelak, setelah memenangkan kontestasi, dirinya akan mendapat apa. Jatahnya bisa dalam struktur kabinet, atau pos-pos strategis lainnya seperti menjadi Duta Besar atau komisaris BUMN. Politik Mercantile ini cenderung mengabaikan kompetensi atau profesioalitas, tapi lebih mengedepankan balas budi. Kita mencatat, politik Mercantile yang tak dibarengi bobot kualitas menjadi faktor destruktif bagi pengembangan amanah kekuasaan.
Kedua, manakala sang kandidat bukan kader partai, maka ia harus melamar ke partai-partai yang siap mengusungnya. Ada sejumlah pendekatan atau lobby yang harus diperlihatkan jauh sebelumnya. Terpaksa atau tidak, sang kandidat harus rela “menjilat”. Minimal, membangun komunikasi yang harmonis, bersifat tidak mendadak. Semua itu, agar pimpinan partai senang dan hal ini harus senatiasa dirawat. Ketiga, di depan mata, ia harus siapkan sejumlah dana, meski atas nama dana operasional. Nilainya fantastik. Inilah mahar politik yang tak bisa dihindari.
Karena itu, terdapat dua kemungkinan yang bakal terjadi. Yaitu, sang kandidat harus gigit jari karena digantikan oleh kandidat berduit dan dialah sang oligarkis. Atau, kandidat tersebut harus mencari mitra (bohir), atau harus terima kehadiran bohir. Memang, ada partai yang tak mengajukan prasyarat mahar politik. Tapi, itu hanyalah strategi meningkatkan positioning partainya yang kelak akan dijadikan bargaining position. Dalam prakteknya, ketiadaan mahar tetap tak lepas dari kepentingan sempit partai: minta jatah kekuasaan. Bahkan, fasilitas kebijakan privilege terkait dengan imperium bisnisnya. Kesimpulannya, sami mawon, sarua wae bermahar.