Indonesia dalam Cengkeraman Oligarki Politik
Seperti kita saksikan bersama, implikasi dari kebijakan anti rakyat itu kita melihat fakta nyata bagaimana rezim ini lumpuh dalam menjaga kedaulatan energi sumber daya alam (SDA) manakala UU Minerba baru diberlakukan. Masyarakat bahkan pemerintah sama sekali tak berdaya ketika pihak asing berusaha menerobos daerah SDA di berbagai wilayah. Secara umum, kehadiran UU Minerba teranyar menambah kerusakan lingkungan yang semakin serius. Dalam hal ini Badan Nasional Penanggulangan Bancana (BNPB) mencatat dampak kerusakan lingkungan. Yaitu, sepanjang tahun 2020 saja tercatat 2.925 bencana alam di Indonesia, mulai dari banjir, puting beliung, tanah longsor, kebakaran hutan dan lahan, kekeringan, serta gelombang panas.
Terkait gelombang panas, baru-baru ini ilmuwan yang tergabung dalam Panel Antar Pemerintah tentang Perubahan Iklim atau IPCC memberikan peringatan berupa “kode merah bagi umat manusia”. Hal ini disampaikan oleh Sekjen PBB Antonio Guterres setelah diterbitkannya hasil laporan kelompok kerja ilmuwan IPCC pada tanggal 9 Agustus 2021. Peringatan ini bukan hanya ditujukan untuk beberapa negara saja, melainkan untuk seluruh dunia, wabil khusus Indonesia. Mengapa Indonesia mendapat perhatian khusus, padahal masih banyak negara – di antaranya Brazil – yang sama-sama memiliki kawasan hutan luas?
Sebagai “paru-paru” dunia, Indonesia – yang mendapat kepercayaan dunia untuk kualitas iklim yang sehat – harusnya menjaga belantara hutannya. Tapi, yang terjadi lain. Indonesia justru termasuk negara yang paling “agresif” melakukan deforestasi, atas nama pengalihan jenis tanaman hutan produksi, atau pengalihan hutan: eksplorasi sumber daya alam dan mineral dari wilayah kehutanan. Dari riset yang telah dilakukan Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) didapatkan data bahwa lahan seluas 159.000.000 hektar sudah terkapling dalam izin investasi industri ekstraktif. Luas wilayah daratan yang secara legal sudah dikuasai oleh 25 korporasi sebesar 82.91%, sedangkan untuk wilayah laut sebesar 29.75%.
Dalam pelaksanaannya, potret deforestasi terbesar saat ini terjadi di Papua: seluas 663.443 hektar. Sekitar 71% di antaranya terjadi sepanjang tahun 2011 sampai 2019. Penyumbang deforestasi terbesar yakni ditujukan untuk pembukaan perkebunan sawit seluas 339.247 hektar. Namun dari hasil penelusuran WALHI ternyata hanya 194.000 hektar saja yang sudah ditanami sawit, selebihnya dalam kondisi rusak, alias hanya “dijarah” logging-nya dan diekspor secara ilegal. Kegiatan ekspor ilegal ini sulit terlaksana jika tak ada “kesepahaman” dengan pemegang otoritas wilayah, dari unsur pemerintah daerah ataupun aparat kemanan yang sering dilabelkan sebagai oknum.
Yang memperihatinkan adalah pengalihan fungsi hutan menjadi wilayah industri ekstraktif, baik itu perkebunan, properti, pertanian, kehutanan, tambang, infrastruktur dan kelautan berdampak serius. Dari laporan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sepanjang tahun 2018 saja terjadi 410 konflik agraria dengan luas wilayah konflik 807.177 hektar, dengan melibatkan 87.568 KK.
Praktik ekosida penghancuran lingkungan yang mengabaikan tata ruang dan lingkungan hidup ini menjadi fakta tentang praktik buruk segelintir korporasi yang menguasai jutaan hektar lahan dan itu memperparah intensitas bencana di Indonesia. Jumlah korban jiwa pun juga naik hampir tiga kali lipat. Pada periode 2017 hingga 2018, terjadi peningkatan jumlah korban bencana. Dari yang sebelumnya 3,49 juta orang menjadi 9,88 juta orang.
Memperkuat catatan WALHI itu dan sekedar menjadi data peingimbang, The Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services (IPBES) – dua tahun lalu – menyebutkan bahwa setiap tahunnya Indonesia kehilangan hutan seluas 680.000 hektar. Sebuah deforestasi terbesar di kawasan Asia Tenggara. Sedangkan data yang disuguhkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat sisi lain: kerusakan sungai yang dihimpun mencapai dari 105 sungai yang ada dan 101 di antaranya kondisi sungai tercemar dengan level sedang hingga berat.
Pencemaran tersebut tak lepas dari aktivitas industri ekstraktif yang mengeksploitasi alam. Sekali lagi, yang perlu kita garis-bawahi, penguasaan lahan itu bukan hanya berdampak pada menyusutnya luas hutan yang berfungsi sebagai penyerap emisi karbon dioksida, tapi ikut juga secara sekaligus memperparah laju pemanasan global. Hal ini akan terjadi jika tak ada pengendalian ekstra.
Dari analisis yang sudah dilakukan banyak ahli, ternyata sebanyak 14 ribu studi yang berkaitan dengan perubahan iklim menunjukkan bahwa penyebab kenaikan suhu bumi saat ini sudah mencapai 1.1°C dan akibat dari pembakaran bahan bakar fossil. Salah satunya industri pembangkit listrik yang mayoritas bahan bakarnya masih menggunakan batubara. Perlu kita garis-bawahi, peningkatan suhu bumi sebesar 1.1°C sepertinya kecil. Namun ketika dikaitkan dengan suhu bumi, efek yang ditimbulkan sangatlah besar dan destruktif. Sebut saja hujan dengan intensitas tinggi, siklus tropis, banjir, dan musim kemarau yang semakin panjang penyebab kebakaran skala besar.
Bagi sektor yang menggantungkan kondisi cuaca tahunan seperti pertanian, maka ke depannya – jika suhu bumi terus memanas – maka, perubahan iklim akan merubah ritme musiman yang bisa mengakibatkan penurunan produktivitas hasil pertanian secara signifikan, tak terkecuali resiko gagal panen akan semakin sering terjadi. Perubahan iklim ini juga bakal menyebabkan perubahan pola cuaca di negeri ini, di samping kawasan lainnya dari berbagai belahan dunia. Akibatnya semakin sering terjadi gelombang panas dan kekeringan dalam waktu panjang, yang akan memicu kebakaran hutan dengan area yang sangat luas.