Indonesia dalam Cengkeraman Oligarki Politik
Strategi itu – dalam etape berikutnya – adalah bagaimana memasukkan sejumlah kepentingan bisnisnya. Bersifat langsung pada megaproyeknya yang beratas nama pembangunan atas nama janji politik sang kandidat. Bisa juga bentuk lain, termasuk ranah perundang-undangan, hukum dan lainnya. Bahkan, sampai ke persoalan sistem pertahanan negara pun “diborong”. Harus tunduk pada kemauan para bohir itu. Tak bisa dipungkiri lahirnya UU Cipta Kerja – meski kini telah dibatalkan oleh MK – tak jauh dari sisipan dan titipan kepentingan para bohir. Sementara kita tahu, pengesahan UU tersebut menelan korban jiwa, di samping PHK sejumlah tenaga kerja.
Dengan sadar dan jernih serta penuh nurani, kita saksikan dengan kasat mata, “pemborongan” seluruh aspek pembangunan fisik dan pranata politik, hukum dan lainnya (terutama sosial-keagamaan) telah mengakibatkan kepentingan anak bangsa dan negeri ini tergadai. Seluruh sepak terjang cukong, dari dalam negeri atau pendatang dari negeri asing benar-benar dilindungi secara politik, hukum dan bahkan keamanan. Hal ini – dalam sisi lain – telah menggerakkan kerusakan secara sistimatis, dalam tataran lingkungan yang kini kian menuai reaksi alam dalam bentuk bencana, tata- kelola pemerintahan yang kian digerogoti kekuatan asing dengan jebakan utang (debt trap), pembenturan sosial dimana rakyat yang sejatinya cinta Tanah Air selalu dipandang sebagai musuh negara.
Dari panorama kehancuran sistem yang tampak terencana itu, publik dapat membaca causa primanya. Yaitu, negeri kita yang memperjuangkan proses demokratisasi sejak era reformasi, justru diacak-acak oleh parpol yang kini lagi berjaya. Dalam teori demokrasi, parpol merupakan salah satu pilar penting dan konstruktif. Tapi, dalam kasus Indonesia, justru peran parpol sebaliknya: menjadi the destroyer. Untuk saat ini berdampak jauh ke depan bagi negeri ini dan bangsanya.
Partai politik besar kini benar-benar telah membajak demokrasi yang kita bangun dengan berdarah-daerah, korban nyawa, harta dan lain-lain. Dan pembajakan itu kian menguat sejalan dengan “perselingkuhannya” dengan para cukong yang sangat pragmatis. Parpol sadar bahwa perselingkuhannya membawa petaka karena kaum cukong punya grand design yang wow, tapi forget it. Emang, gue pikirin. Sebuah renungan, apakan pembajakan itu akan terbiarkan untuk selamanya, sampai negeri ini menjadi puing-puing runtuh? Hanya kaum anti NKRI yang rela membiarkannya. Hanya saudara setanah air yang bermental kolonialis yang antusias bekerjasama untuk misi besar penghancuran negeri ini. Dan akhirnya harus kita tegaskan, hanya manusia- manusia yang tidak berakal sehat yang senyum-ceria dan pesta menonton gerakan penghancuran negerinya sendiri.
Untuk mereduksi proyek kehancuran itu, maka gagasan dan ikhtiar judicial review terhadap MK terkait persoalan PT – untuk jangka pendek – menjadi celah sekaligus pintu harapan. Arahnya menihilkan prosentase PT (0%) atau menghaspus PT pada sistem pilpres. Dengan langkah hukum ini ada potensi besar serapan tokoh-tokoh terbaik bangsa dari komponen parpol ataupun nonparpol yang siap maju dalam perhelatan pilpres. Dalam kaitan ini, kiranya menarik untuk kita cermati calon perseorangan atau calon independen yang sudah diterapkan aturan mainnya untuk posisi gubernur, bupati/walikota. Pemberlakuan calon perseorangan untuk gubernur, bupati dan walikota ini, sudah sangat selayaknya diberlakukan pula untuk calon perseorangan presiden. Ketika untuk jabatan presiden tidak diberlakukan, maka di sanalah kita saksikan inkonsistensi kebijakan, sekaligus gambaran ketidakadilan.
Ada apa di balik larangan calon perseorangan presden? Tidaklah terlalu naif jika publik menilai: memang ada grand design penghancuran negara dalam skala nasional. Berlebihankah opini ini? Jawabannya bisa kita baca secara reflektif dari sejumlah panorama faktual negeri ini, setidaknya dalam masa tujuh tahun terakhir ini.
Sulit disangkal, oligarki berpengaruh destruktif bagi sistem demokrasi negeri ini. Dampaknya, kepentingan demos atau rakyat secara umum terancam. Karena, kebijakan publik bisa jadi diinvasi menjadi sekadar kebijakan yang menguntungkan pebisnis, elite, dan privat. Perlu kita catat dengan jelas, cengkeraman politik ologarkis merupakan kemerosotan demokrasi. Banyak pengamat dari berbagai lembaga atau perorangan menilai peningkatan oligarki sebagai salah satu indikator utama kemunduran demokrasi Indonesia. Secara faktual, oligarki politik tidak melibatkan warga negara yang diwakili masyarakat madani, asosiasi dan serikat profesi, ormas dan LSM. Karenanya, tidaklah berlebihan ketika kian meluas opini publik bahwa oligarki politik dan oligarki cukong selalu menimbulkan dampak negatif terhadap demokrasi dan penegakan hukum.
Kerangka solusi atas problem oligarki itu, Zephyr Teachout dan Kelly Nuxoll dalam “Three Solutions to the Oligarchy Problem” (2013). Pertama, perlu perubahan UU Pemilu, khususnya menyangkut ambang batas parlemen (parlementary threshold) yang kini berlaku 4% dan ambang batas kepresidenan (presidential threshold) 20% pemilik kursi di DPR RI atau 25% suara non-seat. Kedua, perlu peninjauan ulang mengenai pilkada dengan kembali melakukan pemilihan melalui lembaga perwakilan. Ketiga, perlu pengaturan dan penegakan hukum tegas tentang pendanaan partai dan calon sejak awal masa pencalonan dan kampanye pemilu. Selain itu, berbagai pemangku kepentingan non-negara, seperti masyarakat sipil, perlu memobilisasi kesadaran dan kewaspadaan warga terhadap bahaya oligarki. Juga perlu membangun sikap asertif warga menolak setiap bentuk oligarki politik dan oligarki ekonomi-finansial yang sangat merugikan negara- bangsa.
Bangsa ini haruslah tersadar untuk mencegah “demokrasi tanpa demos” atau demokrasi yang meninggalkan kepentingan rakyatnya. Sebab, demokrasi tanpa rakyat – pada akhirnya – demokrasi hanya digunakan sebagai alat bagi sekelompok oligarki untuk mendapatkan kekuasaan dan sumber daya. Demokrasi ini benar-benar telah mengkhianati asal-usul makna yang tertanam: demos yang berarti rakyat dan kratos yang berarti pemerintahan.
Dalam konteks ini, demokrasi tanpa demos tentu merupakan anomali, atau bahkan kontradiktif yang kita tahu bahwa seharusnya kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat bukan malah berbalik kepada para pejabat ataupun oligarki politik. Jeffrey Winters ilmuwan politik Amerika Serikat di Universitas Northwestern – dalam Webinar LP3ES pada 19 Agustus 2021 – menjelaskan, penggunaan kekuatan kekayaan oleh oligarki saat ini hanya untuk mempertahankan kekuasaannya yang dipraktikkan bersamaan dengan politik transaksional.