NUIM HIDAYAT

Islam itu Eksklusif, Toleran dan Membahagiakan

Jadi sifat keras dan halus secara bersama-sama diajarkan Islam. Disinilah justru letak keistimewaan atau keeksklusifannya. Islam secara bersama-sama mengajarkan kekerasan dan perdamaian. Tergantung situasi yang dihadapinya. Seorang Muslim akan kelihatan radikal militan, atau garang ketika Islam atau umat Islam dizalimi musuhnya. Ia akan kelihatan toleran atau halus, ketika menjenguk temannya non Islam yang sakit. Akan kelihatan lebih “halus lagi”, ketika ia tunduk serendah-rendahnya, bersujud shalat tahajud kepada Rabbnya di malam hari atau air matanya meleleh deras ketika mendengar ayat-ayat tertentu dalam Al-Qur’an.

Istilah lain yang cukup menganggu adalah istilah Islam yang membebaskan. Bila kita merenung dan mengkaji secara mendalam terhadap Islam, maka Islam sebenarnya secara bersama-sama membebaskan dan mengikat pemeluknya. Islam memang membebaskan berfikir bagi manusia, selama pemikirannya tidak menyimpang dari aturan Allah (dari nash-nash Al-Qur’an dan Hadits yang qath’i). Islam membebaskan manusia berkreasi seluas-luasnya dalam ilmu dan teknologi. Islam juga mengharapkan kemandirian manusia, membebaskan manusia dari ketundukan atau ‘perbudakan’ manusia lainnya karena berprinsip ketundukan hanyalah kepada Allah yang menciptakannya.

Tapi tidak dipungkiri, Islam juga mengikat seorang Muslim dengan kewajiban shalat, puasa, zakat, menutup aurat dan lain-lain. Hal ini sebenarnya logis, sebagaimana juga hukum-hukum manusia selain memberikan kebebasan juga membuat aturan-aturan baik individu maupun masyarakat. Bahkan kadang lebih “ketat” lagi seperti kita lihat sekarang aturan penghormatan bendera, protokoler presiden/menteri, aturan memakai seragam/helm dan lain-lain. Dalam menghukum, seringkali ‘hukum manusia’ lebih ganas dan tidak adil, pencuri 10 juta (motor) dibakar hidup-hidup, sedangkan pencuri triliunan rupiah dibebaskan berkeliaran bahkan diberi tambahan modal baru.

Kelebihan Islam, aturan-aturannya mengandung butir-butir hikmah yang besar bagi manusia. Para ulama banyak menulis kitab tentang hikmah-hikmah syariat Islam itu: hikmah shalat, hikmah menutup aurat, hikmah puasa, hikmah hukum qishash dan lain-lain. Dengan kata lain, ketika seorang Muslim menjalan aturan Islam (syariat Islam), ia tidak merasa dibelenggu sebagaimana menjalankan banyak hukum manusia. Justru ia merasa tentram atau tenang karena ia menjalankan aturan-aturan dari Sang Pencipta dan Sang Maha Tahu.

Al-Qur’an sendiri dengan teks yang jelas, memberi kebebasan bagi seorang manusia, mau menjadi Muslim atau menjadi kafir. Masing-masing dengan konsekuensinya. Al-Qur’an menegaskan bila seorang menjadi Muslim maka akan masuk surga dan bila ia memilih kafir maka ia akan masuk neraka di akhirat nanti. Dan Allah SWT tidak akan menzalimi hamba-Nya.

Kata-kata kebebasan –yang dipropagandakan Barat untuk melawan keterikatan kepada agama- memang seolah-olah indah dan di dalam katanya mengandung makna kebahagiaan. Tapi benarkah ideologi kebebasan secara otomatis akan membahagiakan manusia? Kenyataannya justru sebaliknya. Kebebasan (Barat) justru membawa banyak kesengsaraan manusia lainnya. Misalnya kebebasan seks, berselingkuh dan ‘hidup bebas tanpa nikah’, homoseksual, ternyata menyebabkan kesengsaraan dan kehancuran rumah tangga, liarnya kehidupan remaja, merebaknya penyakit aids, hilangnya kepekaan social dan lain-lain. Kebebasan pergaulan menyebabkan anak kena narkoba dan tawuran. Kebebasan minuman beralkohol menyebabkan kerusakan otak dan akhlak. Kebebasan internet menyebabkan banyak remaja kecanduan games dan pornografi.

Kebebasan perdagangan yang dipropagandakan Barat malah justru merugikan atau kadang ‘memeras’ kekayaan negara berkembang, menghambat kemakmuran negara berkembang dan memperbanyak kematian penduduk negara-negara miskin karena kelaparan dan lain-lain. Kebebasan memelihara anjing yang berlebihan menyebabkan orang-orang di Barat lebih semangat mengeluarkan uang untuk makanan dan kesehatan anjing daripada mengeluarkan bantuan untuk orang-orang miskin di negara-negara berkembang. Kita menyaksikan bagaimana kebebasan mode berpakaian justru mengakibatkan banyaknya pelacuran. Banyak anak gadis melacur untuk mendapatkan uang sekedar untuk membeli mode pakaian terbaru, handphone dan hiburan-hiburan kebahagiaan semu. Di samping itu juga pikiran mereka menjadi terbelenggu (tidak nyaman) karena selalu dituntut tampil ke publik harus cantik fisik selaras dengan dikampanyekannya ‘fashion show’ atau tepatnya ‘body show.’

Pertanyaannya, manakah yang dicari manusia (Muslim) sebenarnya, kebebasan atau kebahagiaan? Jawabannya tentu dalam hidup ini manusia mencari kebahagiaan. Kebebasan kadang menjadi sarana dan kadang jadi penghambat. Oleh karena itu yang tepat Islam itu menentramkan atau membahagiakan manusia bukan membebaskan manusia. Jadi kebebasan itu ternyata tidak selamanya membuat manusia menjadi tenteram atau bahagia, malah seringkali membuat manusia menjadi sengsara.

Kita dapati dalam sejarah banyak ulama yang dipenjara, dibelenggu kebebasannya, tapi hidupnya tetap tenang dan tenteram. Ibnu Taimiyah, Sayid Qutb dan Hamka mengukir karya-karya besarnya ketika berada di terali besi.

Setelah meneliti berbagai pendapat filosof tentang arti bahagia, ulama besar Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka), menyatakan bahwa manusia berbeda-beda dalam memimpikan kebahagiaan. Si miskin menganggap si kaya yang bahagia. Orang bodoh menganggap si Pintar yang bahagia. Orang bujang memimpi orang nikah bahagia. Tapi kenyataannya tidak demikian. Kadang si kaya melihat si miskin yang bahagia. Ia merasa tidak bahagia karena selalu khawatir hartanya dirampas orang. Orang yang menikah merasa tidak bahagia karena waktunya terbelenggu keluarganya dan seterusnya.

Maka dari itu, Buya Hamka menasihatkan, ”Bertambah luas akal, bertambah luaslah hidup, bertambah datanglah bahagia. Bertambah sempit akal, bertambah sempit pula hidup, bertambah datanglah celaka. Oleh agama, perjalanan bahagia itu telah diberi berakhir. Puncaknya yang penghabisan ialah kenal akan Tuhan, baik makrifat kepadaNya, baik taat kepadaNya dan baik sabar atas musibah-Nya. Tidak ada lagi hidup di atas itu.”

Hal itu senada dengan firman Allah SWT, “Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh dia menang dengan kemenangan yang agung (kebahagiaan di atas kebahagiaan).” (al Ahzab 71).

Istilah “Islam Moderat” yang dipropagandakan Barat juga membingungkan. Moderat berarti tidak punya prinsip atau tidak berpegang teguh pada akar (lawan radikal). Kampanye Islam Moderat ini menjadikan kelompok Islam lain dianggap radikal dan boleh dibasmi. Radikal dikenakan bukan hanya mereka yang melakukan perjuangan dengan kekerasan tapi juga dikenakan pada kelompok Islam yang menempuh cara damai dalam perjuangannya. Hanya karena punya pemikiran tentang khilafah atau wajibnya berlaku hukum Islam di sebuah wilayah dianggap radikal. Kata moderat dan radikal bisa ditarik ulur sesuai dengan kepentingan.

Walhasil ada udang di balik batu dalam sebuah istilah. Dan jangan terbujuk dengan ‘kehalusan politik bahasa’. Wallahu alimun hakim. []

Nuim Hidayat, Ketua Dewan Da’wah Islamiyah Depok

Laman sebelumnya 1 2

Artikel Terkait

Back to top button