OPINI

‘Islam Moderat’ dan ‘Moderasi Beragama’

“After the terrorist attacks on 11 September 2001, the US government slowly began to realize that they needed to understand and hopefully to impact Muslim world attitudes towards the USA. The Bush administration’s primary goal was to counter radical Islamic challenges that could turn into future terrorist activity. In order to try and foster warmer attitudes towards the USA, and to hopefully encourage democracy and human rights, the Bush administration tried to promote the creation and deepening of moderate networks to counter a radical Islamic message. In doing this, the USA has tried to support ‘civil Islam’, i.e. Muslim civil society groups that advocate moderation and modernity. Groups often do this through education programs, radio shows, as well as through newspaper articles and essays. In countries like Indonesia, Mali, and elsewhere, USAID is funding projects to foster peace building and development work. The underlying goal is to bolster moderate interpretations of Islam. The idea is to work ‘through third parties—moderate Muslim nations, foundations, and reform groups to promote shared values of democracy, women’s rights, and tolerance’. The various programs (the grants and the recipient organizations) are not secret, but they are ‘done in a subtle manner’.” (Amy L. Freedman, “Civil Society, Moderate Islam, and Politics in Indonesia and Malaysia,” dalam Journal of Civil Society, vol. 5, no. 2 (2009), hlm. 110).

Maka muncullah berbagai wacana dan gerakan ‘Islam liberal’ (Luthfi Assyaukanie), ‘Islam progresif’ (Zuhairi Misrawi), ‘Islam inklusif’ (Alwi Shihab), ‘Islam pluralis’ (Budhy Munawar Rachman), ‘Islam moderat’ (Ayang Utriza Yakin), ‘Islam humanis’ (Abdurrachman Mas’ud) dan lain sebagainya, yang bermaksud membendung arus ‘Islam fundamentalis’, ‘Islam konservatif’, ‘Islam politis’ dan ‘Islam jihadis’ dan mengkounter gerakan kelompok-kelompok yang mereka kategorikan sebagai ‘Islam garis keras’ seperti Laskar Jihad, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Front Pembela Islam (FPI), Jemaah Islamiyah (JI) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

Di Indonesia, proyek ‘Islam moderat’ mulai digulirkan setelah peristiwa ledakan bom di Bali pada 2002. Pemerintah SBY menjadikannya sebagai salah satu prioritas kebijakan luar negerinya (Donald Weatherbee, 2013). Pasca pengesahan UU No. 15 tahun 2003 tentang tindak pidana terorisme, pemerintah AS memberikan berbagai bantuan kepada satgas antiteror, termasuk kucuran dana sebesar US$150 juta dolar kepada pemerintah Indonesia (David Capie, 2004).

Walhasil, sebagaimana disimpulkan oleh seorang peneliti, gagasan ‘Islam moderat’ memang terkait erat dengan suhu politik nasional dan global akibat berbagai peristiwa tragis tersebut di atas: “the idea to endorse Moderate Islam was driven by inter-related domestic and international factors” (A.R. Umar, “A Genealogy of Moderate Islam”, dalam jurnal Studia Islamika, 23/3 (2016), hlm. 422).

Peran aktif pemerintah Amerika Serikat dalam menggulirkan segala macam Islam dengan embel-embel itu dilakukakan melalui berbagai lembaga seperti United States Agency for International Development (USAID) dan Asia Foundation. Menurut Friedman, USAID terlibat aktif dalam mempromosikan masyarakat sipil dan demokratisasi di Indonesia, antara lain dengan program Muslim World Outreach dan Engaging Muslim Civil Society.

Dana USAID disalurkan melalui The Asia Foundation (TAF) ke puluhan organisasi dan institusi. Proyek Islam and Civil Society (ICS), misalnya, digarap bersama para tokoh dan organisasi Islam untuk ‘pendidikan demokrasi’ dan memupuk nilai-nilai kebebasan, toleransi, dan pluralisme agama. Kegiatan meliputi seminar dan pemberian materi tentang kewarganegaraan, hak asasi manusia untuk digunakan di madrasah, pesantren, dan masjid.

Di antara kelompok yang didanai, ICS berkoordinasi dengan dan secara finansial mendukung acara bincang-bincang radio Jaringan Islam Liberal (JIL) tentang ‘Islam dan toleransi’, dan membantu mendanai korps remaja putri ormas Islam untuk mendirikan pusat advokasi perempuan dan konseling KDRT (Friedman (2009), hlm. 120).

Andrew Higgins dalam artikelnya tentang campur-tangan Amerika Serikat di Indonesia menulis bahwa pasca-tragedi 9/11 Washington menyebarkan dana dan wacana untuk membiayai muslim “moderat” agar melawan muslim ‘garis-keras’. Ratusan ulama Indonesia mengikuti acara-acara yang disponsori AS untuk mengajarkan penafsiran Al-Qur’an yang lebih ‘reformis’ (Hundreds of Indonesian clerics went through U.S.-sponsored courses that taught a reform-minded reading of the Koran).

Dengan dana dari Asia Foundation kelompok muslim ‘moderat’ itu mendirikan Jaringan Islam Liberal (JIL) pada tahun 2001. Jaringan ini menggugat tafsir-tafsir ulama klasik mengenai perempuan, homoseksual, kebebasan beragama, dan sebagainya. Tujuannya konon ingin menghadirkan apa yang mereka namakan “Islam warna-warni”.

Salah seorang pemimpin Jaringan ini lalu diterbangkan ke Washington pada 2002 untuk bertemu para pejabat Departemen Negara Bagian dan Pentagon, termasuk Paul D. Wolfowitz, mantan duta besar AS di Jakarta yang saat itu menjabat sebagai Wakil Sekretaris Pertahanan AS. (Lihat: Andrew Higgins, “As Indonesia debates Islam’s role, U.S. stays out”, dalam Washington Post edisi Ahad, 25 Oktober 2009 (https://www.washingtonpost.com/wp-dyn/content/article/2009/10/24/AR2009102402279_pf.html).

Laman sebelumnya 1 2 3 4Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button