OPINI

‘Islam Moderat’ dan ‘Moderasi Beragama’

Sesudah Asia Foundation menghentikan dukungan finansialnya, datanglah seorang bernama C. Holland Taylor, yang mengaku sebagai mantan pengusaha dari North Carolina AS, mendirikan LibForAll Foundation pada akhir 2003 untuk mewujudkan dan melestarikan corak Islam yang berkemajuan dan toleran (to articulate and defend a progressive and tolerant version of Islam). Mampu berbahasa Indonesia, Taylor mendapatkan dukungan dari sejumlah tokoh, termasuk mantan presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Ahmad Syafi‘i Ma‘arif (ketua PP Muhammadiyah saat itu), dan musisi muda Ahmad Dhani yang membuat lagu “Tidak untuk Laskar Jihad! Ya untuk Laskar Cinta”.

Taylor mengajak Gus Dur ke Washington, di mana mereka bertemu Paul Wolfowitz, Wakil Presiden Richard B. Cheney dan yang lainnya. Ia juga meluncurkan buku “Ilusi Negara Islam” pada 16 Mei 2009. Lima tahun kemudian, pada 2014, Taylor bersama dua tokoh ormas Islam terkenal mendirikan sebuah yayasan ‘dakwah’ bernama Bayt ar-Rahmah li ad-Da’wa al-Islamiyah yang mengusung gagasan “Humanitarian Islam” (https://baytarrahmah.org/management/). Ia juga menerbitkan buku berjudul God Needs No Defense (‘Tuhan Tak Perlu Dibela’) dan menyambut hangat seruan agar istilah ‘kafir’ diganti dengan ‘non-muslim’.

Kemunculan kelompok ekstrimis ISIS yang mengacau di wilayah perbatasan Irak dan Suriah ikut mendorong banyak rejim di Timur Tengah untuk memposisikan diri mereka sebagai kampiun ‘Islam moderat’ (“Wasatiyya”) agar tidak dicurigai atau dimusuhi oleh Barat, sekaligus demi menarik bantuan dana untuk memerangi ‘Islam radikal’ dan ekstremis (Lihat: Annelle Sheline, “Middle East regimes are using ‘moderate’ Islam to stay in power,” dalam The Washington Post, March 1, 2017). Pada saat yang sama, negara besar seperti Turki dan Indonesia berusaha memasukkan unsur agama dalam politik luar negerinya.

Turki membangun banyak mesjid dalam proyek infrastrukturnya di Afrika, sementara Indonesia mempromosikan apa yang mereka namakan “Islam Nusantara” sebagai merek barunya. Demikian kata Peter Mandeville: “Turkey has built mosques alongside the transportation infrastructure it funds in parts of sub-Saharan Africa, while Indonesia promotes its own distinctive idiom of “Archipelagic Islam” (Islam Nusantara) as a global religious brand.” (Peter Mandaville et al., Islam as Statecraft: How Governments Use Religion in Foreign Policy, Washington DC: The Brookings Institution, 2018, hlm. 6).

Ciri-ciri ‘Muslim Moderat’

Ilustrasi

Menurut rumusan sebuah lembaga kajian strategis Amerika, orang Islam ‘moderat’ adalah mereka yang menerima dan mendukung nilai-nilai demokrasi seperti hak asasi manusia (HAM), kesetaraan jenis, kebebasan beragama, pluralisme, hukum sekular, dan menolak terorisme serta kekerasan (Angel Rabasa dkk, Building Moderate Muslim Networks (Santa Monica: RAND Center for Middle East Public Policy, 2007) hlm. 66). Secara terperinci, ciri-ciri ‘muslim moderat’ digambarkan olehnya sebagai berikut:

Seorang muslim moderat akan menolak konsep negara Islam, terutama konsep negara yang diperintah oleh para agamawan seperti di Iran. Berbeda dengan ‘muslim radikal’, seorang muslim moderat akan berpandangan bahwa Syariat Islam tidak mesti diterapkan, apalagi jika hal itu bertentangan dengan prinsip demokrasi dan hak asasi manusia: Shari’a should not apply, and conservative interpretations of shari’a are incompatible with democracy and internationally recognized human rights (hlm. 67).

Selanjutnya, orang Islam moderat adalah mereka yang menerima pandangan para feminis muslim (semisal Fatema Mernissi, Asma Barlas, Amina Wadud) serta terbuka kepada paham pluralisme agama dan dialog antaragama (hlm. 67). Mereka juga mau membela hak-hak perempuan dalam soal perkawinan, seks, kesehatan (khitan, kontrasepsi, aborsi, lesbianisme), ekonomi dan politik. Di samping itu semua, seorang muslim moderat juga mengakui kesetaraan non-muslim sebagai warganegara (equal citizenship) (hlm. 68).

Masih Menurut Angel Rabasa dkk, pemerintah Amerika dan negara-negara Barat perlu lebih erat menjalin hubungan dan kerjasama dengan para mitra lokal yang ia sebut ‘potential partners’ —yaitu tiga golongan yang mempunyai pengaruh di masyarakat: pertama, kelompok ‘sekularis’; kedua, kelompok ‘liberal’; dan ketiga, kelompok ‘tradisionalis’. Mereka ini sangat penting untuk dijadikan kawan dan sekutu (friends and allies) dalam memerangi kelompok muslim ‘radikal’, ‘fundamentalis’ ‘garis keras’ (hlm. 3). Kelompok sekularis ada tiga macam: (i) sekularis liberal yang terbuka dan tidak memusuhi agama seperti kita temukan di Asia Tenggara, (ii) sekularis radikal yang anti-ulama dan dan anti-agama seperti di Turki dan Perancis yang melarang ekspresi dan simbol-simbol agama di ruang publik, dan (iii) sekularis otoriter seperti partai Baath di Irak atau rezim di Suriah dan Mesir.

Adapun kelompok ‘liberal’ adalah mereka yang berlatarbelakang agama namun mendukung agenda dan konsep Barat mengenai demokrasi, HAM dan pluralisme. Mereka ini berusaha menafsirkan ulang teks-teks agama agar sesuai dengan nilai-nilai modernitas. Nyaman dengan sistem politik modern, mereka menolak konsep ‘negara Islam’ dan berpendapat bahwa Syariah adalah produk sejarah. Mereka juga mendukung kaum LGBT (lesbian, gay homoseksual, biseksual, dan transgender) dan berupaya mencarikan dalil-dalilnya dari Al-Qur’an maupun tradisi Islam.

Laman sebelumnya 1 2 3 4Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button