OPINI

Islam Tak Mengenal Problem Perburuhan

Oleh karena itu, besarnya upah yang diperoleh seorang pekerja, hanya ditentukan oleh dua belah pihak, yaitu pekerja itu sendiri dan pihak yang mempekerjakannya. Dalam hal ini pemerintah tidak boleh turut campur menentukan besaran upah, atau kualifikasi jasa yang dikeluarkan.

Dengan demikian, hubungan antara pekerja dan pengusaha, hak-hak dan kewajiban masing-masing hanya berkait dengan jenis jasa yang dikeluarkan, kontrak (lamanya) kerja, besarnya upah, serta waktu pembayarannya. Di luar perkara-perkara tersebut, seperti hak pekerja atas kesehatan, jaminan hari tua, uang ganti rugi, uang penghargaan, imbalan atas kecelakaan kerja, biaya-biaya yang dimasukkan dalam penyusunan kebutuhan fisik minimum (dalam penentuan UMP/UMK) seperti biaya rekreasi, biaya perumahan dan sebagainya, bukanlah tanggung jawab pengusaha. Kewajiban pengusaha hanyalah membayar upah tepat pada waktu yang dijanjikan dan dengan besaran upah yang sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak. ”Bayarlah upah pekerja itu sebelum keringatnya kering,” sabda Rasulullah Saw seperti diriwayatkan Ibnu Majah dari Ibnu Umar.

Kedua, soal tunjangan kesejahteraan yang dalam bahasa ilmu Manajemen disebut sebagai kompensasi tidak langsung, yang juga dituntut para buruh sejatinya bukanlah kewajiban pengusaha untuk memenuhinya. Artinya berbagai tuntutan dan pemberian kompensasi tidak langsung itu bertentangan dengan Islam. Sebab berbagai pelayanan tersebut adalah kewajiban dan tanggung jawab pemerintah untuk memenuhinya, bukan tanggung jawab pengusaha. Jika dibebankan kepada pengusaha berarti pemerintah melepas tanggungjawabnya kepada pengusaha.

Soal pembentukan organisasi atau serikat buruh yang dianggap sebagai solusi untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja dan membuat bargaining position yang lebih tinggi dengan pengusaha, pada hakikatnya hanyalah sekadar tambal sulam Kapitalisme untuk menghentikan aksi-aksi kaum buruh.

Seorang pakar ekonomi Islam, Umar Chapra, dalam bukunya ”Islam dan Tantangan Ekonomi; Islamisasi Ekonomi Kontemporer” mengatakan, “Serikat buruh juga tidak akan dapat memecahkan persoalan pengangguran, bukan hanya karena meningkatnya jumlah pengangguran, melainkan adanya kepentingan pribadi para anggotanya yang agresif dan vokal. Kaum industrialis setuju dengan serikat buruh, bukan karena alasan keadilan sosioekonomi, melainkan karena mereka sadar bahwa serikat buruh dapat memberikan manfaat yang positif bagi sistem industrial melalui bantuan yang diberikannya untuk keharmonisan hubungan antara manajemen dengan buruh.”

Memang benar bahwa Islam, melalui Al-Qur’an Surat Ali Imran ayat 104, membolehkan setiap rakyat untuk berserikat (berorganisasi), baik mereka sebagai pekerja maupun bukan. Akan tetapi mengenai pembentukan asosiasi-asosiasi yang melakukan pengurusan terhadap urusan-urusan masyarakat secara praktis adalah tidak diperbolehkan, karena itu adalah tanggung jawab negara, sesuai dengan hadits Rasulullah saw, “Imam (Khalifah/kepala negara) itu laksana penggembala. Dia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR. Bukhari dari Ibnu Umar)

Selain itu karena memang transaksi ijarah tidak berhubungan dengan hak-hak politik warga negara, karena transaksi ini melibatkan pekerja dan pengusaha, serta memfokuskannya hanya pada manfaat yang dikeluarkan dan harga atas manfaat (upah). Jadi, tidak dapat disamakan hubungannya seperti antara rakyat dengan penguasa. Sehingga tidak dibenarkan dan tidak pernah ada faktanya dalam Islam memasukkan hak-hak berbicara, berkumpul, dan berserikat dalam transaksi perburuhan, apalagi memasukkan isu tentang penerapan Hak Asasi Manusia (HAM). Sebab persoalan-persoalan ini sudah dijamin kesempatan dan pelaksanaannya dalam sistem Islam bagi seluruh kaum muslimin.

Adapun tentang hak mogok kerja/demonstrasi, Islam juga tidak mengenalnya. Karena pada dasarnya seorang pekerja terikat dengan apa yang telah disepakati. Mereka dilarang untuk melanggarnya. Allah SWT berfirman dalam Surat Al Maidah ayat 1, “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.” Rasulullah Saw juga  bersabda, “Orang-orang muslim itu berada disisi syaratnya (aqadnya).” (HR. Bukhari)

Sedangkan mengenai uang pensiun, bonus dan kompensasi lainnya, itu juga merupakan praktik tambal sulam untuk meringankan kezaliman Kapitalisme. Sebab seharusnya orang yang sudah tidak mampu untuk bekerja harus memperoleh kesejahteraan dari negara, sehingga tidak membutuhkan bonus, uang pensiun dan kompensasi lainnya. Tentang jaminan kesehatan, jaminan pendidikan atas anak-anak pekerja dan jaminan lainnya, semua itu juga merupakan tanggung jawab negara, bukan tanggung jawab pengusaha.

Atas dasar inilah Islam tidak memasukkan persoalan-persoalan yang menyangkut kebutuhan buruh akan kesehatan, pendidikan, jaminan hari tua, dana pensiun atau PHK, biaya rekreasi, perumahan dan lain-lain dalam transaksi ijarah. Sebab, definisi ijarah itu hanya berkait dengan manfaat yang diberikan oleh ajir (pekerja), serta dihargakan dengan upah yang disepakati oleh dua belah pihak. Wajar, jika manfaat yang diberikan itu sedikit, maka upahnya juga kecil sesuai kesepakatan kedua belah pihak.

Laman sebelumnya 1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button