NASIONAL

Pemerintah Tunda Wajib Halal Oktober 2024 Jadi Oktober 2026, LPPOM MUI: UMK Jangan Berleha-leha

Jakarta (SI Online) – Direktur Utama LPPOM MUI, Muti Arintawati mengatakan, keputusan pemerintah yang menunda pelaksanaan wajib halal pada Oktober 2024 menjadi Oktober 2026 akan melegakan banyak pihak, terutama mereka yang perhatian dengan nasib Usaha Mikro Kecil (UMK).

“Melihat jumlah pelaku usaha dan sisa waktu penerapan wajib halal Oktober 2024, harus diakui bahwa UMK akan sulit dapat memenuhi tenggat waktu, sehingga dikhawatirkan akan berpengaruh terhadap kelangsungan bisnis,” kata Muti dalam keterangannya, Jumat siang (17/05/2024).

Meski begitu, kata Muti, penundaan ini tentunya tidak menjadikan UMK bisa berleha-leha. Menurutnya, untuk sampai ke Oktober 2026, perlu dibuat program dan target antara yang diterapkan secara tegas.

“Sehingga pelaku usaha tidak menunda-nunda pengurusan sertifikat halal dan menunggu akhir masa penahapan. Hal ini tentu memerlukan sosialisasi secara masif,” kata dia.

LPPOM MUI, kata Muti, menekankan bahwa prioritas target kategori wajib halal hendaknya tidak hanya menimbang skala usahanya semata, melainkan juga fokus ke tingkat kekritisan produknya. Jika produk kritis tersebut merupakan bahan baku untuk membuat produk lain, maka luasnya cakupan penggunaan bahan ini juga perlu jadi perhatian.

“Kita perlu melihat secara jeli akar masalah yang ada. Yang disoroti hendaknya tidak sekadar skala usaha di sektor UMK, melainkan perlunya fokus ke pelaku usaha yang memasok bahan yang tergolong kritis dan dipakai di industri lain; terlepas dari skala bisnis pelaku usahanya,” jelasnya.

Hal ini, kata Muti, karena pasokan bahan dan jasa terkait makanan minuman tidak hanya dari pelaku usaha besar, namun juga dapat berasal dari pelaku usaha yang masuk dalam kategori kecil dan mikro.

Muti mencontohkan soal daging. Ketersediaan produk sembelihan yang dihasilkan oleh Rumah Potong Hewan/Unggas (RPH/U) menjadi salah satu hal yang perlu diperhatikan. Pasalnya, daging dan turunannya digunakan dalam pembuatan berbagai jenis produk usaha kuliner.

Di sisi lain, tidak semua produk sembelihan dihasilkan oleh pelaku usaha menengah dan besar. Banyak daging yang dipasok oleh rumah potong yang tergolong usaha mikro dan kecil (UMK), termasuk yang dihasilkan oleh Tempat Penyembelihan Unggas (TPU) yang ada di pasar dan pemukiman.

Kelonggaran UMK tanpa disertai komitmen halal yang serius akan memperlama ketersediaan daging halal, yang akhirnya menghambat usaha lain yang menggunakan daging yang dibeli dari dari pelaku usaha UKM.

Selain itu, produk kemas ulang ukuran kecil untuk bumbu dan bahan kue (termasuk untuk bahan impor) banyak juga dilakukan oleh UMKM. Adapula jasa terkait makanan dan minuman yang juga banyak dioperasikan oleh UMKM, seperti penjualan dan penggilingan daging.

“Ketersediaan bahan dan jasa yang halal, akan memudahkan pelaku UMKM dalam membuat produk akhir makanan dan minuman yang halal. Ini seperti efek domino. Jika persoalan di hulu selesai, maka sebagian besar persoalan kehalalan produk di Indonesia juga akan rampung. Proses sertifikasi halal produk juga akan lebih mudah dan jaminan kehalalannya dapat dipertanggungjawabkan,” jelas Muti.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button