RESONANSI

Jokowi dan Zona Merah Trias Politika “Sakaratul Maut” Demokrasi

Hanya pada era Jokowi sangat terasa wujud demokrasi yang seharusnya semakin dewasa ter-reduksi sangat dalam: arahnya tengah menuju petaka kemunculan otoritarianisme.

Itu disebabkan Jokowi terpilih ketika ada mekanisme Presidential Treshold 20%, malah dewasa ini tengah bermetamorphosis yang boleh jadi bakal menjadi tumor ganas bagi “ kematian” ketumbuhberkembangan demokrasi Indonesia ke depan.

Trias Politika, yang diajarkan oleh filsuf Montesquieu, kemudian secara empiris diimplementasikan dalam dunia politik modern oleh John Locke, filsuf Inggris, sering disebut sebagai obat manjur penyehatan demokrasi yang seringkali mengalami “pesakitan” di dalam pengelolaan ketatanegaraan yang menganut paham demokrasi di negara belahan dunia di manapun.

Trias Politika yang memang sudah menjadi kiblat politik dalam pengeloaan ketatanegaraan modern, termasuk Indonesia, adalah perihal tiga subordinasi pembagian kekuasaan hukum perundang-undangan yang bersandar pada UUD diimplementasi dalam pengejawantahan tugas antara institusi eksekutif pelaksana UU, legislatif pembuat UU dan yudikatif pengawas pelanggaran UU.

Persoalannya, kembali kepada kondisi demokrasi Indonesia kekinian: di antara ketiga institusi tersebut, ternyata lembaga eksekutiflah yang paling mendominasi kekuasaan di dalam struktur mesin politik.

Seharusnya dalam kondisi “normal ordinary” yang akan terjadi, adalah “overheating” politik demokrasi.

Tetapi, ironisnya yang seharusnya DPR mencak-mencak penuh emosi dan amarah di rapat-rapat komisi atau fraksi dengan membentuk panja-pansus sambil menggunakan hak-haknya, interpelasi, budget dan menyatakan pendapat kepada eksekutif pemerintah; atau paling tidak begitu ramai hingar-bingarnya debat-debat diskursus yang suaranya sampai juga kedunia akademikan kampus-kampus meminta pertimbangan dan saran ahli para guru besar, justru terjadi sebaliknya: DPR banyak “mingkem” terbungkam melihat banyak pelbagai penyimpangan di lembaga Presiden dan kabinetnya.

Bahkan, yang lebih ironisnya lagi institusi yudikatif sebagai pengawas pelanggaran hukum, seperti Jaksa Agung dan MA, ditambah MK bersama Kepolisian, terkesan hanya men-“subcribe” kemudian menjadi follower lembaga eksekutif dengan melegalisasinya.

RUU KPK dan Omnibuslaw

Contoh paling khas dan nyata dari kondisi ini, adalah terkait betapa begitu ambisius lembaga eksekutif Presiden ketika ingin meratifikasi RUU KPK dan UU Omnibuslaw.

1 2 3 4Laman berikutnya

Artikel Terkait

BACA JUGA
Close
Back to top button