RESONANSI

Jokowi dan Zona Merah Trias Politika “Sakaratul Maut” Demokrasi

Sudah susah-susah menghadapi pandemi rakyatlah yang kemudian menjadi korbannya. Pemerintah yang seharusnya melindungi sesuai perintah UU, seperti tak peduli dan tak menggubris jika rakyat tergerus oleh pusaran mekanisme pasar yang justru dilakukan oleh penguasa sekaligus pengusaha itu. Lantas, apa yang dilakukan DPR, Jaksa Agung dan Mahkamah Agung?

Mereka hanya mingkem dengan dalih karena Perppu yang dibuat pemerintah, terkait penanggulangan wabah pendemi Covid-19, memiliki imunitas khusus.

Jangankan melakukan investigasi ke ranah pidana, melakukan fakta pembuktian terbalik pun tidak, apalagi melakukan analisis masalah melalui pembentukan panja-pansus seraya menggunakan hak—haknya melalui interpelasi, budget atau menyatakan pendapat.

Mereka hanya mendengar dan melihat “counter opinion” dari para pelaku Peng-Peng itu dari medsos dengan pengakuan bahwa mereka tidak melakukan bisnis itu secara komersial, tetapi hanya bersifat charity seperti “santa claus” atau Sinterklas. Dapat dipercayakah itu?

Padahal, lembaga jurnalis investigasi dunia terpercaya dan diakui reputasinya melakukan laporannya melalui Pandora Papers: hasilnya ada dua nama menteri di kabinet Indonesia terdaftar namanya dalam “daftar hitam” pengemplang pajak. Mereka bermain di negara yang memberi suaka pajak dengan mendirikan perusahaan cangkang dengan maksud mengurangi pajak yang seharusnya disetor dengan nilai real ke negara.

Tapi apa hendak dikata, jurnal berita itu seharusnya meramaikan agenda pembahasan di DPR atau MA, ternyata dianggap “hoax”, tak ter agendakan di meja sekretariat DPR kemudian menghilang begitu saja bersama angin, “Gone With The Wind”.

Belum lagi kasus Harun Masiku, kemudian kasus korupsi bansos pandemi, menjelang banyaknya ajal kebangkrutan BUMN, kasus korupsi Asabri dan Jiwasraya, uutang yang semakin menggunung: itupun ntah tanpa perhatian lanjut, serius dan konsisten dari DPR, Jaksa Agung maupun MA.

Sementara, kelompok oposisi yang terdiri dari LSM, Tokoh-tokoh profesi akademis, ulama dan habaib, dsb, ketika menyuarakan kritik dan protes pun dibungkam dengan pasal karet UU ITE tentang ujaran kebencian. Maka, hukum sebagai panglima itu hanya tumpul ke atas, tapi tajam ke bawah. Banyak dari kaum oposan itu kemudian di penjara dengan terhunjam perasaan dan hati nuraninya meratapi ketidakadilan yang dialaminya.

Akhirnya, di tengah situasi demokrasi Indonesia dengan fungsi lembaga Trias Politika itu sedemikian, apakah janin biang kerok kekisruhan negara yaitu PT 20% itu akan dipertahankan?

Jika kemudian memang terjadi penguatan PT 20% itu dipertahankan menjelang Pilpres 2024 yang sudah pasti dilakukan oleh unsur anasir pengikut Jokowi, maka seperti terjadi “Political Shadow of Syndroma Jokowi”, politik demokrasi Indonesia di periode ketiga (kembali naik panggung anasir pengikut Jokowi), maka politik demokrasi Indonesia akan luluh lantak menuju kehancuran total.

Laman sebelumnya 1 2 3 4Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button