Jokowi Harus Cepat Tumbang
Penggusuran etnis Melayu Rempang adalah puncak dosa dan pengkhianatan Jokowi. Kepada warga Rempang Jokowi telah menghianati janji kampanye untuk melakukan sertifikasi tanah warga. Ternyata semua omong kosong bahkan Menteri ATR/Ka BPN menjadikan alasan warga tak bersertifikat sebagai dasar penggusuran. BP Batam sendiri bermasalah dalam HPL nya. Begitulah model kemunafikan berat dalam berpolitik yang dilakukan demi China.
Ya, demi MoU dengan China yang mensyaratkan pengosongan maka semua dilakukan. Bahkan dengan target 28 September sudah bersih dan kosong. Ratusan triliun “carrot” China cukup menggiurkan dan membuat gelap mata Jokowi, Luhut, Erik dan pasukan keserakahan lainnya. Airlangga dan Bahlil pun ikut serta di garda depan. Yudo Margono sang algojo mendeklarasikan diri sebagai tukang piting rezim.
Bila kita berada di tanah suci khususnya Madinah maka akan terdengar pedagang menawarkan barang dagangan dengan teriakan “Jokowi, Jokowi” untuk menarik perhatian jama’ah Indonesia. Bahkan lucu juga ada teriakan “Jokowi murah, Jokowi murah” maksudnya barang itu harganya murah. Ternyata bacaan kini bagi bangsa adalah memang “Jokowi murah”. Jokowi sebagai komoditas yang berharga murah dimata Xi Jinping sang “kakak tua”.
Iming-iming dana investasi membuat mabuk bahkan terkesan siap menjual kedaulatan negara. IKN yang sudah mulai tahap pembangunan awal rela dibuat nol dengan disain yang diserahkan sepenuhnya pada China. Mengerikan sekali bahwa konsep ibukota negara ditentukan oleh negara lain, Republik Rakyat China. Betapa murah harga bangsa yang hanya seharga kemasan “MoU”.
Persoalan investasi adalah salah satu kelemahan dan kebobrokan rezim Jokowi. Rempang menjadi kulminasi. Persoalan lain adalah korupsi yang merajalela, pembiaran atas pelanggaran HAM, politik dinasti, kriminalisasi, stigmatisasi umat beragama, kedok merakyat, naik harga-harga, bohong intensif, serta hutang luar negeri yang terus menggunung.
Jokowi mendekati pemenuhan syarat untuk tumbang sebagaimana tumbangnya rezim-rezim dalam kesejarahan.
Pertama, otoriter. Tidak mau mendengarkan aspirasi rakyat. Lingkaran dalam membiaskan suara rakyat dengan jilatan yang mengandung racun. Kebenaran itu hanya kebijakan istana. Mempersetankan rakyat dan membungkam aktivis penyambung lidah rakyat.
Kedua, kesenjangan gaya hidup. Raja dan para Menteri makan apa yang dimau. Dari makan apa hingga makan siapa. Hidup foya-foya atau bermewah-mewah. Rakyat susah makan, makan apa dan dari siapa. Daya beli rendah dengan tingkat pengangguran tinggi. Ada ibu di Tangsel terpaksa mencuri telur demi kebutuhan makan anak. Sementara Ibu-ibu pejabat menjadi “madame deficit” yang cekikikan pamer kekayaan.
Ketiga, komprador asing. Raja yang menjadi bagian dari kepentingan penakluk negeri. Boneka yang dapat dimainkan termasuk diangkat dan dibanting. Ditekan agar mau mengangkat dan membanting target. Disuap dan dipelihara untuk tetap setia. Hidup dalam sandera permanen. Menggusur rakyat demi belas kasihan asing.
Keempat, anak raja bloon dan plonga plongo dijadikan alat penjilat pantat ayahanda atau bunda nyonya besar. Sanjungan pada si anak dibuat-buat sebagai pemanis dan penyenang hati. Kehebatan palsu. Anak bloon pewaris tahta kerajaan adalah bom waktu bagi penumbangan oleh rakyat.
Kelima, pengerahan aparat untuk menakuti dan menindas. Senjata melawan tangan kosong. Singa, ular dan kalajengking meneror kelinci, semut dan jengkerik. Aparat adalah alat negara yang dibiayai rakyat tetapi digunakand rezim untuk menekan rakyat. Agar rakyat tetap tidak berdaya dan dihantui rasa takut.
Jika Jokowi memenuhi lima syarat tersebut di atas, berdasarkan hukum sejarah berbasis kausalitas, maka dipastikan Jokowi akan segera tumbang. Apalagi bila ia sudah merasa mampu untuk berbuat segalanya termasuk memata-matai partai politik. Arogansi dari kebodohan telah memuncak.