OPINI

Kabinet Pesta dan Kabinet Krisis

Sangat terlambat

Upaya Jokowi membangunkan kesadaran para menteri dan pejabat tinggi itu, sesungguhnya sangat terlambat.

Seperti diakuinya, harusnya sense of crisis itu sudah muncul setidaknya sejak tiga bulan lalu. Sejak muncul pandemi Corona di Wuhan, Cina akhir tahun lalu. Atau setidaknya awal Maret ketika Jokowi mengumumkan kasus positiv Covid-19 pertama di Indonesia.

Kita tak perlu mengulang-ulang lagi lagi bagaimana reaksi para petinggi negara menyikapi bencana Corona. Menyepelekan, menganggap remeh. Mengerahkan buzzer untuk membungkam suara kritis, serta berbagai lakulajak dan lancung lainnya.

Sikap yang mengundang kecaman tidak hanya dari dalam negeri, tapi juga dari komunitas internasional.

Dampaknya bisa kita rasakan saat ini. Darurat kesehatan yang berkepanjangan. Krisis ekonomi yang kian dalam. Dan yang lebih mengkhawatirkan, krisis kepercayaan terhadap pemerintah semakin meluas.

Jokowi bahkan mulai kehilangan dukungan dan kepercayaan di basis-basis pendukungnya. Beberapa seleb medsos yang selama ini dikenal sebagai pendukung dan buzzer pemerintah sudah menyuarakan ketidakpuasan dan perlawanannya.

Publik cenderung skeptis dan apatis terhadap para petinggi negara. Apapun kebijakan pemerintah hanya dianggap lucu-lucuan. Meme bertebaran membuat kita tersenyum kecut dan getir. Yang paling mutakhir adalah kebijakan Mendagri memberi hadiah lomba video new normal ke beberapa pemerintah daerah.

Kredibilitas Jokowi dipertaruhkan. Komunitas Internasional mempertanyakan keseriusan pemerintah. Jokowi menghadapi krisis kepercayaan dari dalam dan luar negeri.

Semua terjadi seperti kata Jokowi, karena para pembantunya “bekerja biasa-biasa saja.” Bersikap seakan “tidak ada apa-apa.”

Jokowi tampaknya mulai menyadari kabinet pesta. Kabinet bagi-bagi kekuasaan diantara para pendukungnya, tidak kompatibel dengan kabinet krisis.

Kini saatnya dia menilai, memilah siapa yang cocoknya hanya diajak berpesta, dan siapa yang bisa diajak menangani krisis.

Dia sudah menyadari tidak ada “perasaan yang sama” antara dia dengan para pembantunya. Kata itu bahkan sampai dia ulang sebanyak 4 (empat) kali.

Jokowi menyadari bahaya yang mengancam kekuasaannya akibat penanganan krisis biasa-biasa saja. Kata “berbahaya sekali,” juga diulangnya selama 4 (empat) kali sepanjang pidatonya.

Kekhawatiran Jokowi sangat bisa dimaklumi. Jika tak segera bertindak cepat, drastis, dan tegas masa depan politiknya jadi pertaruhannya.

Bagi Jokowi pesta kemenangan periode kedua sudah berakhir dengan cepat. Namun para penggila pesta, tampaknya sudah mencari dan menyiapkan pesta lainnya.

Melalui lembaga survei, mereka sudah mulai mengelus-elus pengganti Jokowi, justru ketika Jokowi harus berjibaku berjuang menghadapi pandemi.

Jika tak waspada dan berhati-hati, pemerintahan Jokowi bisa mati muda (dying young) seperti nasib vocalis The Doors Jim Morrison.

Dia mati muda di tengah puncak karirnya. Ditemukan mati di kamar mandi di sebuah paratemen di Paris dalam usia 27 tahun. Diduga overdosis.

Kekuasaan seperti juga narkoba, sangat memabukkan. Jika lupa diri. Menggunakan secara berlebihan dan tak bertanggung jawab, bakal mati overdosis juga. end

Hersubeno Arief

sumber: facebook hersubeno arief

Laman sebelumnya 1 2

Artikel Terkait

Back to top button