Kapolri, Bebaskan Ustaz-Ustaz Kami
Maka jangan heran anggota DPR Fadli Zon bersuara keras “Hampir tiap hari tangkap teroris, apa yang diteror? Mau teror siapa? Kalau di luar negeri biasanya teroris ngaku apa tujuan dan kehendaknya. Ini malah melawan kotak amal dan kurma. Uruslah ‘KKB’ di Papua,” kata Fadli. Ia juga menyatakan, “Narasi semacam ini tak akan dipercaya rakyat lagi, berbau Islamofobia. Dunia sudah berubah, sebaiknya Densus 88 ini dibubarkan saja. Teroris memang harus diberantas, tapi jangan dijadikan komoditas.”
Apakah JI benar berubah? Situs dw.com menduga juga demikian. Ceritanya dimulai dalam sebuah pertemuan di Surabaya, 2008, Para Wijayanto diangkat menjadi amir baru Jamaah Islamiyah. Wijayanto yang jebolan jurusan teknik Universitas Diponegoro itu dikenal memiliki kemampuan organisasi yang baik, meski tanpa bekal ilmu agama yang mencukupi. Pria, yang kata polisi, ahli di bidang intelijen itu ditugaskan menuntun balik Jamaah Islamiyah ke era kejayaan.
Para Wijayanto grup yang kemudian dikenal dengan nama Neo-JI itu memilih merayap diam-diam, tanpa agenda kekerasan dan hanya mengandalkan dakwah, tulis Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) dalam laporannya 2017 silam.
Situs dw.com menulis, ”Arah baru perjuangan JI termanifestasi pada upaya menanamkan pengaruh politik. Menurut catatan IPAC, menjelang demonstrasi massal anti Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama pada 2016/2017 silam, Para WIjayanto mengeluarkan maklumat berjudul “Demonstrasi Damai dan Gerakan Jihad Mungkinkah Bersanding?” yang mendorong simpatisannya agar ikut membanjiri aksi protes di Jakarta. JI saat itu berdalih partisipasi dalam demonstrasi damai melawan Ahok serupa dengan “jihad dengan pena” atau jihad lewat dakwah. Berbeda dengan doktrin Islamic State yang menilai haram berjuang lewat jalur selain Islam, anggota JI pimpinan Para malah didorong untuk ikut memilih dalam pemilu.
Perbedaan itu pula yang membawa JI berkonflik dengan Islamic State. Pada 2014 JI mulai aktif berkampanye melawan ISIS di Indonesia lantaran dinilai terlalu mudah mengkafirkan mereka yang tidak ingin bergabung. JI sebaliknya mendewakan Jabhat al Nusra, perwakilan resmi Al-Qaeda di Suriah, yang saat itu juga bertempur melawan pasukan Abu Bakar al-Baghdadi.
Kini, 16 tahun sejak pertama kali menghuni daftar pencarian orang Densus 88, Para Wijayanto yang berusia 54 tahun akhirnya berhasil dibekuk aparat keamanan. “Jemaah Islamiyah masih merupakan ancaman karena strategi mereka adalah mendirikan kekhalifahan,” kata Juru bicara Kepolisian Dedi Prasetyo kepada Reuters seusai penangkapan.”
Jadi bila dianalisis, ketiga ustaz itu terlibat dalam jaringan Jamaah Islamiyah, karena kemungkinan besar mereka menganggap aktivis-aktivis Islam di Jamaah Islamiyah, tidak lagi menggunakan cara kekerasan dalam memperjuangkan Islam. Bahkan, seperti diakui Polri sendiri, anggota Jamaah Islamiyah banyak yang ikut dalam Partai Dakwah Rakyat Indonesia. Artinya banyak anggota Jamaah Islamiyah yang sadar bahwa perjuangan politik Islam harus disalurkan dalam partai politik yang resmi (parlemen/demokrasi).
Pertanyaannya kemudian, bila anggota atau bekas anggota Jamaah Islamiyah tidak lagi menggunakan cara-cara kekerasan dalam memperjuangkan idenya, apakah dilarang menurut Undang-Undang? Tentu tidak. Harusnya Polri obyektif. Perjuangan kelompok Islam yang pro konstitusi, harus dinilai sama dengan kelompok non Islam yang pro konstitusi.
Melihat fakta-fakta kondisi Jamaah Islamiyah terakhir, harusnya Polri atau pemerintah menyambut gembira bukan malah menangkapi atau memenjarakannya. Seperti sikap pemerintah yang membuka lebar aktivis-aktivis pro komunis, yang kini banyak menduduki lembaga pemerintahan atau DPR.