Kebebasan vs Kebahagiaan
Barat sangat mengagungkan kebebasan. Kebebasan bagi Barat, laksana akidah bagi umat Islam. Maka jangan heran, ketika karikatur Nabi Muhammad ditampilkan seorang guru atau majalah Charlie Hebdo beberapa tahun lalu, Presiden Prancis Emmanuel Macron membelanya. Ia katakan bahwa Prancis landasannya kebebasan.
Ketika gedung WTC dihancurkan oleh Mujahidin Afghan tahun 2001, Presiden Bush menyatakan bahwa ‘mereka (musuh) bisa menghancurkan gedung-gedung tapi tidak akan bisa menghancurkan fondasi Amerika, kebebasan’.
Landasan kebebasan (freedom/liberty) bagi Barat, dalam sejarahnya timbul karena pemberontakan terhadap kekuasaan gereja yang mengekang. Dimana kaum intelektual tidak bebas mengemukakan pendapatnya, sehingga ada diantara mereka yang dihukum mati atau disiksa oleh pihak gereja. Seperti Galileo dan beberapa intelektual lainnya.
Begitu juga adanya penguasa gereja yang bersekutu dengan bangsawan di Eropa –seperti Raja Ferdinand dan Ratu Elisabeth- menyebabkan terbantainya ratusan ribu kaum Muslim di Andalusia. Padahal saat itu ulama-ulama Islam sangat baik sikapnya terhadap Barat (Eropa). Dimana mereka membagi ilmu dan mempersilakan para pendeta atau pelajar untuk belajar pada cendekiawan/ulama di Andalusia.
Seperti diketahui, saat itu (abad ke-8 s.d 15) Barat dalam masa kegelapan, sementara Andalusia, Baghdad dan lain-lain sudah menjadi kota yang maju, penuh dengan keilmuan/perpustakaan dan terang benderang dengan lampu di jalanan.
Benarkah kebebasan bisa menjadi landasan kehidupan manusia? Bila kita renungkan, kenyataannya kebebasan ini justru banyak menghancurkan manusia.
Lihatlah ketika Barat melandaskan hidupnya pada kebebasan, maka terjadi Perang Dunia I dan II. Kebebasan juga menyebabkan Nazi Jerman membantai ribuan kaum Yahudi, pembunuhan dan pengusiran jutaan kaum Muslim Palestina dan juga menyebabkan jutaan orang terbunuh di Irak dan Afghanistan.
Kebebasan berarti bebas menuruti nafsu. Nafsu kuasa, nafsu wanita, nafsu harta dan lain-lain. Banyak pemimpin terhina hidupnya atau berbuat zalim, karena tidak bisa mengendalikan ketiga nafsu atau salah satu dari nafsu itu.
Meski Barat ada konsep etika, untuk membatasi kebebasan ini, tapi karena etika tidak dilandasi dengan kitab suci (pedoman yang mendasar), maka etika itu seringkali dicampakkan dengan berbagai alasan. Maka Lihatlah pula banyak korban narkoba, korban pelacuran, korban pembunuhan, korban minuman keras, karena mendewakan kebebasan ini.
Mengapa Barat mendewakan kebebasan? Ya, karena mereka tidak punya kitab suci yang otentik. Mereka hidup berdasar pada akal dan hawa nafsunya semata. Bibel misalnya dibaca hanya untuk menjustifikasi nafsu mereka (BIbel sehari-hari jarang dibaca, tidak sebagaimana Al-Qur’an). Maka jangan heran, Bibel kemudian diubah-ubah sesuai kehendak para pendeta. Karena banyak diubah, dan keasliannya sangat diragukan, maka orang-orang Eropa banyak yang ateis.
Yang paling bahaya, ideologi kebebasan ini menyebabkan perlombaan senjata. Sehingga memicu perang dimana-mana. Mereka yang mendewakan kebebasan, maka nafsu kuasanya tidak terkendali. Maka jangan heran Eropa, Amerika, Israel, Rusia dan lain-lain menciptakan nuklir atau senjata-senjata canggih agar bisa menguasai dunia. Mereka menjadi biasa untuk membunuh orang. Bagi mereka, kekuasaan adalah nikmat yang tertinggi. Yang menghalangi kekuasaan, halal untuk dibunuh dan seterusnya.
Bagaimana Islam memandang kebebasan? Kebebasan bukan isu utama dalam Islam. Kebebasan tidak menjadi landasan atau tujuan hidup manusia. Bila kita renungkan, yang dicari manusia bukanlah kebebasan sebenarnya, tapi kebahagiaan.