Kecurangan Pilpres 2019: Terstruktur, Sistematis, Masif dan Brutal?
Menurut Tim IT BPN, Agus Maksum, temuan dugaan adanya 17,5 juta DPT bermasalah ini, menunjukkan akan adanya intruder (pemilih fiktif) karena adanya kecurangan masif. Atas dasar itulah, ada dugaan KPU telah bermain curang. “Banyak kita temukan DPT yang bermasalah seperti di Bogor, di Jawa kami mencatat itu ada 19.427 TPS yang bermasah DPT-nya,” tuturnya.
Soal teknis kampanye, Prabowo Subianto menyampaikan sendiri jika pihaknya dipersulit oleh pejabat pemerintah daerah. Pemblokiran tempat ini terjadi secara terstruktur. Di Bandung, lokasi-lokasi yang akan disewa untuk pertemuan Prabowo dengan pendukungnya ditekan dan dilarang. Di Banten, helikopter Prabowo tak boleh mendarat di Alun-alun Pandeglang. Di Bogor, kampanye akbar Prabowo yang sedianya ingin menggunakan Stadion Pakansari tidak diizinkan. Demikian pula di Semarang, kampanye akbar Prabowo tidak mendapatkan lokasi kampanye hingga akhirnya kampanye untuk wilayah Jawa Tengah dipusatkan di Solo. Bahkan kampanye akbar Prabowo-Sandi di Gelora Bung Karno pun proses perizinannya dihambat.
Belum lagi di sejumlah daerah, seperti Yogya dan Solo, rombongan peserta kampanye akbar 02 dihambat perjalanannya. Akses jalan dihalangi. Alat peraga kampanye pun dirusak. Sementara untuk petahana, bebas saja mereka mengerahkan Aparatur Sipil Negara (ASN), pegawai BUMN, meminta sumbangan BUMN/BUMD, dan menggunakan fasilitas-fasilitas Negara untuk kampanye.
KPU dan Bawaslu sebagai ‘wasit’ dalam pertandingan pun dicurigai banyak kalangan tidak bertindak adil. Aturan-aturan yang dibuat cenderung menguntungkan petahana. Seperti tentang tidak harusnya capres petahana cuti dari jabatannya. Wasit yang mestinya mengawasi jalannya pertandingan, kini malah jadi obyek pengawasan rakyat.
Masalah saat pencoblosan, di hari-H, justru secara gamblang diungkap oleh Bawaslu. Bawaslu mencatat sederet dugaan pelanggaran dan masalah saat pencoblosan Pemilu 2019. Mulai dari persoalan tempat pemungutan suara (TPS) yang terlambat dibuka hingga masalah Daftar Pemilih Khusus (DPK).
“Ada beberapa TPS dan hampir kebanyakan mulai pukul 08.00. Padahal sesuai UU dimulai pukul 07.00. Bahkan ada juga yang mulai pukul 10.00, bahkan ada juga yang dimulai pada pukul 11.00. Jadi persoalan logistik satu, dia datang secara keseluruhan. Kedua terlambat datang turun dari kelurahan ke TPS, ketiga ada surat suara yang tidak ada. Misal ada beberapa daerah semua ada kecuali surat suara DPR-nya atau provinsinya tidak ada. Ada juga surat suara tertukar,” ujar Komisioner Bawaslu Fritz Edward Siregar dalam jumpa pers di kantornya, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Rabu (17/4/2019).
Fritz mengatakan, TPS yang terlambat dibuka merupakan pelanggaran. Ia mengimbau Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) setempat langsung mendata bagi pemilih yang sudah antre menunggu.
Bawaslu juga menyoroti adanya ketidaksesuaian ketentuan bagi pemilih yang masuk Daftar Pemilih Khusus (DPK). Padahal menurut aturan, pemilih yang masuk DPK cukup menunjukkan e-KTP atau Suket kepada KPPS pada saat Pemungutan Suara sesuai dengan alamat yang tertera dalam e-KTP atau Suket.
“Ada juga surat yang kurang, misal DPT ada 100 surat suara cuma ada 80. Kemudian poin dari pemilih, banyak yang di DPK. Kami menemukan ada beberapa ketidakkonsistenan DPK. Ada yang masih KPS minta kepada, meskipun ada e-KTP tapi disuruh ke kelurahan mengurus Suket kembali padahal kita tahu pakai e-KTP bisa memilih di domisilinya,” ujar Fritz.
Untuk kartu suara yang sudah tercoblos salah satu paslon, jangan ditanya lagi. Bahkan video yang menunjukkan petugas KPPS melakukan pencoblosan massal surat suara pun beredar luas di media sosial. Setidaknya yang beredar melalui media sosial adalah video dari Nias, Boyolali dan Banten.