Keimanan Bilal bin Rabbah vs Kekafiran Abu Jahal

Siapa tak kenal dengan bilal bin Rabbah dan Abu Jahal. Dua sosok penting dalam perjalanan dakwah Rasulullah Saw. Tapi peran keduanya bertolak belakang.
Bilal bin Rabbah tampil sebagai penerima dakwah Rasulullah Saw yang pertama. Keimanannya begitu mengagumkan. Walaupun dirinya mengalami penyiksaan di luar batas kemanusiaan, yang keluar dari lisannya hanyalah ahad, ahad, ahad. Dirinya adalah pendukung dakwah Rasulullah Saw yang terdepan.
Sedangkan Abu Jahal tampil sebagai penentang dakwah Rasulullah yang utama. Lisan dan perbuatannya kerap menyakiti dan menyiksa Rasulullah Saw dan para shahabat. Tak hanya itu ia mengajak dan memprovokasi orang lain untuk melakukan hal yang sama. Cermin kebencian dalam dadanya yang luar biasa pada dakwah. Wajar digelari sebagai Firaun umat Rasulullah Saw.
Menarik mengkaji jalan keimanan Bilal bin Rabbah dan kekafiran Abu Jahal. Bilal bin Rabbah berasal dari Habasyah (Ethiopia). Dengan status sosial sebagai budak Umayyah bin Khalaf dan keadaan kulit yang hitam legam menjadikan dirinya dipandang hina. Rumah Umayyah bin Khalaf menjadi tempat berkumpulnya pejabat Quraisy. Saat mereka berkumpul sering mengungkapkan rasa kekesalan dan kemarahan pada sosok Rasulullah Saw dan dakwahnya.
Di sisi lain, mereka mengakui kejujuran, amanah dan akhlak terpuji Rasulullah Saw. Bilal bin Rabbah merekam pembicaraan tersebut dengan baik. Hal imilah yang mengarahkan dirinya pada petunjuk dan kebenaran dakwah Rasulullah Saw. Lantas Ia mengikuti petunjuk tersebut tanpa keraguan.
Abu Jahal bukan tak tahu kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah Saw. Dia mengakui kebenaran dakwah Rasulullah Saw. Tapi ada satu hal yang menghalanginya untuk menutup diri dari kebenaran tersebut, yaitu fanatisme kesukuan.
Abu Jahal berasal dari bani Makhzum dan Rasulullah Saw berasal dari bani Hasyim. Abu Jahal merasa sukunya selalu bersaing meraih kemuliaan dan kehormatan dengan bani Hasyim.
Sebelum Islam datang, persaingan tersebut terjadi dalam hal al liwa’ (mengatur urusan perang), hijabah (memegang kunci Ka’bah), siqayah (memberi minum jamaah haji). Saat ada kenabian dari bani Hasyim, Abu Jahal merasa akan jatuh kemuliaan dan kehormatan jika menjadi pengikut Rasulullah Saw. Artinya Abu Jahal menutup diri dari kebenaran hanya karena gengsi. Hal ini juga yang menyebabkan Abu Jahal disebut sebagai Bapak Kebodohan.
Iman dan Kafir Pilihan Hidup
لَآ اِكْرَاهَ فِى الدِّيْنِۗ قَدْ تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّۚ فَمَنْ يَّكْفُرْ بِالطَّاغُوْتِ وَيُؤْمِنْۢ بِاللّٰهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقٰى لَا انْفِصَامَ لَهَاۗ وَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ ٢٥٦
“Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam). Sungguh, telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat. Siapa yang ingkar kepada tagut dan beriman kepada Allah sungguh telah berpegang teguh pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (QS. Al Baqarah ayat 256).
Ayat mulia di atas menyatakan bahwa telah jelas antara petunjuk dan kesesatan. Tak ada yang samar di dalamnya. Petunjuk semisal terang terik matahari di siang hari. Pun kekesatan semisal kegelapan di pekatnya malam hari. Akal dan nafsu akan menentukan pilihan manusia dalam menyikapi petunjuk dan kekesatan. Tak ada paksaan dalam penyikapan tersebut. Setelah kematian semua akan diminta pertanggungjawaban di sisi Allah.
Yang menjadi kepastian pilihan tersebut akan berpengaruh pada jalan kehidupan manusia. Ketenangan hidup dan mendapat kebahagiaan hakiki akan diperoleh dengan keimanan. Setelah kematian ada jaminan kenikmatan syurga dan ridha Allah. Sebaliknya kegelisahan, kehampaan, kebahagiaan semu akan diperoleh dengan kekafiran. Setelah kematian ada jaminan kesengsaraan neraka dan murka Allah Rabb semesta alam.