NASIONAL

Kepulangan HRS Berlarut-larut, Fadli: Indikasi Kegagalan Diplomasi Pemerintah

Jakarta (SI Online) – Sebagai warga negara Indonesia, merujuk kepada hukum internasional ataupun nasional, Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Syihab (HRS) yang saat ini masih berada di Arab Saudi, memiliki hak melekat untuk mendapatkan perlindungan dari pemerintah Indonesia.

Namun, seperti dikatakan Ketua BKSAP DPR Fadli Zon, Selasa (26/11) negara abai terhadap hak warganya dan cenderung membiarkan masalah ini berlarut-larut. Padahal, kata Fadli, sejumlah pejabat tinggi penegak hukum dan intelijen RI sudah beberapa kali menemui HRS beberapa tahun belakangan ini.

“Berlarut-larutnya kepulangan HRS dari Arab Saudi ke Indonesia, menurut hemat saya, mengindikasikan kegagalan diplomasi pemerintah dalam melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, sebagaimana yang diamanatkan oleh konstitusi,” ungkap Fadli Zon dalam pernyataan tertulisnya, Selasa (26/11/2019).

Fadli menjelaskan, dalam hukum internasional, sebagaimana diatur dalam Konvensi Wina 1961 Pasal 3 dan Konvensi Wina 1963 Pasal 5, dinyatakan bahwa negara berkewajiban untuk melindungi warga negaranya yg tinggal di luar negeri. “Protecting in the receiving State the interests of the sending State and of its national, both individuals and bodies corporate within permitted by international law.”

Sementara pada level nasional, ketentuan itu tertuang di sejumlah hukum nasional. Pada UU No. 37/1999, Bab V pasal 19(b); “Perwakilan RI berkewajiban: memberikan pengayoman, Indonesia di luar negeri, sesuai d peraturan perundang-undangan nasional serta hukum dan kebiasaan internasional.”

Tidak hanya itu saja, hal tersebut kemudian diperkuat dalam Permenlu Nomor 4 Tahun 2008 tentang pelayanan warga pada perwakilan RI di luar negeri.

Bahkan, lanjut Fadli, Menlu Retno Marsudi dalam rapat perdana dengan Komisi I DPR RI pekan lalu, menyatakan prioritas politik luar negeri Indonesia akan bertumpu pada prioritas 4+1, di mana salah satu prioritasnya adalah diplomasi perlindungan warga negara.

“Sehingga, upaya pemerintah untuk memulangkan HRS ke tanah air seharusnya bersifat imperatif, sebagai bukti kehadiran negara dalam melindungi WNI di luar negeri,” kata Anggota Komisi I DPR itu.

Fadli menyebut, jika pemerintah melakukan upatya pemulangan HRS, maka hal tersebut merupakan wujud diplomasi perlindungan terhadap WNI, yang diatur baik oleh hukum internasional maupun nasional.

“Hanya saja, dalam kasus HRS, pemerintah kerap berlindung di balik alasan sikap anti-intervensi terhadap kebijakan negara lain. Saya kira ini pandangan yang patut diluruskan,” kata Fadli.

Fadli menjelaskan, diplomasi perlindungan berbeda dengan intervensi. Diplomasi perlindungan dilakukan melalui upaya negosiasi, sifatnya persuasif, bisa dilakukan secara terbuka ataupun tertutup. Upaya tersebut tidak bisa disamakan dengan tindakan diplomasi offensive, apalagi dipandang sebagai tindakan yang mengintervensi urusan negara lain.

“Selain itu, kita juga bisa lihat bahwa upaya negosiasi memulangkan warga negara yg ditahan negara lain, sudah lazim terjadi dalam praktik diplomasi internasional,” ungkap Fadli.

Fadli menyebut sejumlah contoh. Pada 2009, misalnya, pemerintah AS mengutus mantan Presiden Bill Clinton untuk bernegosiasi dalam pembebasan dua wartawan AS, Euna Lee dan Laura ling, yang ditahan oleh pemerintah Korea Utara.

Lalu pada 2010, saat itu Pemerintah Amerika Serikat mengutus mantan Presiden Jimmy Carter untuk bernegosiasi dengan Korea Utara demi membebaskan Aijalon Mahli Gomes, seorang warga AS yang ditahan karena memasuki wilayah Korut secara illegal.

Kemudian pada 2014, ketika Pemeritah AS mengirim utusan khususnya, Robert King, untuk bernegosiasi dalam pembebasan Kenneth Bae dan Matthew Todd Miller, dua warga AS yang sempat ditahan oleh Korea Utara karena tuduhan spionase.

Fadli berkesimpulan, negosiasi pemulangan seorang warga negara yang ditahan di negara lain, adalah praktik yang lazim.

“Jika dalam kasus HRS pemerintah masih bersikap pasif, dan berlindung di balik alasan anti-intervensi, saya kira cara berpikir tersebut perlu dikoreksi,” tegasnya.

red: shodiq ramadhan

Artikel Terkait

Back to top button