Ketika Para Kiai Disembelih (1)
Sebagai narasumber dalam masalah ini adalah: Dr. Asvi Warman Adam sejarahwan LIPI, Dr. Dianto Bachriadi, Aries Santoso sejarahwan dan Wilson sejarahwan. Selain itu akan menjadi pembicara pula: Dr. Kusnanto Anggoro, Dr. Refly Harun, Sukmawati Sukarnoputri, Suwarsono MA sejarahwan LIPI, Nursyahbani Katjasungkana, Dr Abdul Wachid (membahas dari sisi genosida intelektual dan pemberangusan kajian kiri/Marxisme), Harsutejo, Martin Aleida, Todung Mulya Lubis dan lain-lain.
Alhamdulillah acara itu batal akhirnya. Karena banyaknya massa yang protes atau demo di Jakarta
“Kalangan PKI panik mendengar kabar gerak maju pasukan Siliwangi ini. Mereka kemudian dengan membabi buta dan secara keji mulai menghabisi para tawanan yang masih ada dan disekap di kamar-kamar loji (Gorang Gareng, Madiun) ini…”
Saya bersama dua orang yang selamat, berusaha bangkit dari timbunan mayat (orang-orang yang dibantai PKI). Astaghfirullah..ruangan ini benar-benar banjir darah. Saya masih ingat, ketika Siliwangi datang pada lewat tengah hari, pintu kamar didobrak dari luar. Daun pintunya sempal dan roboh, jatuh ke lantai. Saking banyaknya darah membanjir di lantai, daun pintu yang tebalnya lebih 4 cm itu mengapung di atas genangan darah. Saya melangkah ke luar pun, merasakan betapa banjir darah yang menggenang di lantai kamar dan sepanjang koridor, mencapai di atas mata kaki saya,”kisah Kiai Roqib kepada wartawan Halwan Aliuddin tahun 2005.
Baca juga: Sumur-Sumur Tua Pembantaian PKI
Kiai Roqib adalah Imam Masjid Jami’ Baitus Salam, Kabupaten Magetan. Pada 1948, saat usianya belum genap 20 tahun guru ngaji ini ditangkap PKI dan terjadilah peristiwa yang mengerikan itu.
Lain lagi kisah dari Kiai Daenuri. KH Achmad Daenuri adalah pimpinan Pondok Pesantren ath Thohirin, Mojopurno, Magetan. Ia adalah salah satu putra KH Soelaiman Zuhdi Affandi korban kekejaman PKI 1948. Pesantren yang didirikan ayahnya itu menjadi pusat latihan generasi muda melawan Belanda dan Jepang. Pada 1948, Kiai Daenuri baru berusia 10 tahun. Ia melihat ayahnya Kiai Affandi ditangkap PKI dengan cara licik.
“Ketika beliau sedang iktikaf di Masjid, dibopong dari belakang dan diculik,” terangnya. Kiai Affandi diseret-seret dan disekap bersama ratusan tawanan lain, umumnya tokoh agama dan partai, di rumah loji Belanda di kawasan Pabrik Gula Gorang-Gareng (kini Pabrik Gula Rejosari, Magetan).
Dari tempat penyekapan ini, ayahnya bersama sejumlah tawanan lain dipindahkan ke desa Soco, Magetan dengan menggunakan kereta api lori pengangkut gula dan tebu. Gerbong kereta sangat sempit dan dijejali puluhan tawanan lain. Kiai Daenuri mendapat kesaksian tentang kematian ayahnya ini dari beberapa tawanan lain yang selamat. Selama dalam penyekapan itu ayahnya mendapat siksaan yang keji, namun berbagai penyiksaan itu tidak mampu membunuh ayahnya.
“PKI jengkel menghadapi Kiai yang demikian digdaya, tidak mempan senjata tajam apapun bahkan kebal peluru senjata api. Karenanya pada suatu kesempatan, ketika beliau meminta izin untuk mengambil air wudhu, seorang anggota PKI mendorong beliau hingga tercebur ke dalam sumur. Segera setelah itu sumur ditimbun dengan puluhan hingga ratusan jenazah lain dari para syuhada. KH Soelaiman Zuhdi Affandi dikubur hidup-hidup oleh PKI,” papar Kiai Daenuri.
Sebelumnya diketahui bahwa jumlah syuhada yang dikubur di beberapa sumur pembantaian di Desa Soco adalah 67 orang dan telah diketahui nama-namanya, Namun setelah sumur dibongkar, ternyata ditemukan 108 kerangka jenazah. Kerangka jenazah dievakuasi dan dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Kota Madiun. Para syuhada dikuburkan kembali dalam satu liang lahat dan diberi prasasti dengan sebutan Makam Soco. Prasasti atau nisan besar itu memuat 67 nama syuhada, sedang 41 korban lainnya, dengan nomor urut 68 hingga 108, dinyatakan tidak dikenal.
Selain Kiai Affandi, kakak dan adik Kiai Affandi yang juga guru ngaji, menjadi korban kekejian PKI. Ketika pecah Gerakan G 30S PKI, Pesantren Ath Thohirin yang dipimpin Kiai Daenuri menjadi pusat konsentrasi para pemuda GP Anshor untuk menyiapkan diri menghadapi PKI.
“Kami bukan mendendam, karena para leluhur kami dihabisi PKI. Tapi komunis adalah lawan kami yang senyata-nyatanya. Karena komunis secara jelas menyatakan anti agama dan anti Tuhan. Untuk melawan komunis, kami harus senantiasa berada di barisan depan,” kata Kiai Daenuri.