RESONANSI

KIB dan ‘Set Back’ Orde Baru

Mengapa KIB kemudian mengusung Ganjar-Erick, yaitu tadi sesuai tujuannya sekadar untuk dijadikan keduanya boneka-boneka itu. Gubernur dengan tanpa keberhasilan meraih prestasi di provinsi Jawa Tengah dan termasuk kategori provinsi termiskin pun itu bisa diabaikan. Caranya gampang, awalnya mempergunakan pengaruh Jokowi dengan Projo yang semula membuncahkan dukungan tiga periode ke Jokowi untuk merusak kandang benteng yang memang Jateng itu menjadi basis banteng moncong putih, maksi-kekuatan PDIP berhimpun.

Sambil terus-menerus dengan gencarnya menggunakan hasil survei elektabilitas dari lembaga survei mainstream bayaran menjadikan Ganjar Pranowo selalu berada di atas, di samping Anies Baswedan dan Prabowo Subianto.

Juga yang tidak kalah efektif, para bandit-bandit buzzer yang mempermainkan bullying, caci maki dan fitnah kepada lawan yang sekiranya di publik banyak mempengaruhi elektabilitasnya.

Meski, kemudian akibatnya timbul adanya ketegangan relasi antara Jokowi-Megawati dengan pelbagai indikasinya yang dapat dilihat di pelbagai media berita dan media sosial, seperti juru bicara Masinton Pasaribu dan fraksi-fraksi PDIP di DPR yang mulai garang berbicara menyindir Ganjar Pranowo dan Erick Thohir.

Ganjar Pranowo yang dianggap kurang santun dan berperilaku tak tahu malu dianggap oleh PDIP pengkhianat politik. Juga sampai diinisiasi hak angket oleh fraksi PDIP terkait perusahaan BUMN pembelian saham GOTO dan itu harus dipertanggungjawabkan oleh Erick Thohir selaku pejabat menteri BUMN yang berkewenangan.

Tetapi, apa pun dan bagaimana pun publik bisa saja menganggapnya bahwa semua itu perupa dramatisasi politik sebagai suatu keberpuraan.

Toh, dengan tetap mesranya Jokowi dan Megawati, malah terakhir keduanya bertemu kemudian muncul statement keduanya bak relasi “Ibu dan Anak”, menyiratkan tanda, sekalipun memang betul terjadi adanya pertentangan antara Jokowi-Megawati itu, adalah dengan sangat mudah bagi keduanya untuk rujuk kembali dan atau rekonsialiasi. Terlebih, semenjak ada KIB, PDIP seolah tidak di atas angin lagi, malah seolah termarjinalisasi berada di “menara sunyi kesepian”.

Ini membuat PDIP harus berhitung cemas dan kepepet, dari pada ditinggal sendirian oleh anggota eks-partai oligarkinya, mendingan menyerah “pasang badan” melakukan rekonsialiasi politik, lantas bisa saja jadi berpasangan: Puan-Jokowi, Ganjar-Puan dan atau Puan-Ganjar.

Bayangkan! Dengan tambahan kekuatan sistem Preshold 20%, dukungan partai oligarki (PDIP dan KIB) dan oligarki konglomerasi, apa yang dipikirkan oleh para analis politik itu terjadi: turunan Jokowi, oligarki partai dan oligarki konglomerasi kembali melanggengkan kekuasaannya di republik ini. Kita lihat saja nanti.

Maka, di akhir artikel ini timbul pertanyaan satire: setelah nyaris 60 tahun Indonesia membangun mengapa yang terjadi justru kelompok elite politik dan feodal-kapitalislah yang selalu merasakan tingkat kesejahteraannya?

Rakyat justru semakin terpuruk ke jurang pemiskinan dan kemiskinan? Kok partai-partai itu tetap saja tega justru tengah terus berkeinginan melanggengkan kekuasaannya seperti yang terjadi saat ini? Wallahu a’lam Bishawab

Dairy Sudarman, Pemerhati politik dan kebangsaan

Laman sebelumnya 1 2

Artikel Terkait

Back to top button