SUARA PEMBACA

Kisruh Berulang di Tahun Ajaran Baru

Juli, bulan yang membuat stres orang tua dan siswa. Terutama bagi yang mendaftar sekolah di jenjang selanjutnya. Jika dulu, bulan Juli selalu ditunggu dengan liburannya. Sekarang, bulan Juli ditunggu dengan penuh kecemasan.

Sistem zonasi, PPDB Online, telah menjadi kisruh tahunan di dunia pendidikan. Hampir setiap tahun selalu menuai masalah dan protes di sana sini. Terlebih saat pandemi ini, full online menjadi permasalahan tersendiri bagi sebagian orang tua.

KPAI menerima 75 pengaduan terkait Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dari berbagai daerah di Indonesia sejak 27 Mei hingga 28 Juni 2020. Sementara dari tanggal 29 Juni hingga 1 Juli terdapat 8 tambahan pengaduan, sehingga jumlahnya menjadi 83 pengaduan (tribunnews.com, 02/07/2020).

Pengaduan terbanyak dari DKI Jakarta. Sedangkan jenis pengaduan, 21,33% masalah teknis, dan 78,67% masalah kebijakan. Yang paling sering diadukan adalah masalah usia.

Belum lagi masalah klasik, sistem zonasi. Yang masih terus dipertahankan meskipun menuai protes. Katanya untuk pemerataan mutu pendidikan. Katanya untuk meratakan penyebaran peserta didik. Namun selalu membawa sengkarut sejak diberlakukan yaitu tahun 2017. Ada beberapa komponen yang membuat PPDB zonasi senantiasa kisruh, yaitu:

Pertama, orang tua. Paradigma berpikir masih terbawa yang dulu yaitu sekolah favorit dan tidak favorit. Apabila hendak anak berprestasi, maka sekolah favorit menjadi pilihan wajib. Akhirnya, memaksakan agar anak belajar demi meraih prestasi dan bisa masuk sekolah favorit.

Dalam pandangan orang tua, sekolah favorit itu memiliki guru-guru yang mumpuni dan fasilitas yang lengkap. Sehingga bisa maksimal dalam mendidik putra putrinya.

Secara fitrah, manusia ingin mendapatkan sesuatu yang baik dengan pengorbanan yang kecil. Demikian juga paradigma orang tua. Ingin sekolah berkualitas dengan biaya minim, maka sekolah negeri menjadi sasaran dan terjadi penumpukan berkas PPDB. Akhirnya orang tua terkadang rela melakukan apapun demi anaknya masuk sekolah favorit. Meskipun harus memalsukan data tempat tinggal ataupun membuat surat keterangan tak mampu hingga bisa lewat jalur afirmasi.

Kedua, negara. Hadirnya sekolah favorit dan tidak, karena tidak meratanya fasilitas pendidikan. Proyek pengadaan sarana prasarana (sapras) serta program pendidikan seperti literasi, seringkali di sekolah favorit. Sekolah yang dulu berlabel Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Peningkatan mutu guru juga masih tidak merata. Yang sering dipanggil untuk pelatihan atau workshop seringkali guru di sekolah favorit.

Antara Pulau Jawa dan Kalimantan, sudah jauh berbeda kualitasnya. Apalagi jika dibandingkan dengan daerah Timur. Dari sisi sarana prasarana, masih banyak ruang yang belum layak di sebut kelas. Belum lagi dengan fasilitas penunjang yang lain. Dari sisi guru, masih banyak sekolah yang kekurangan guru. Satu guru bisa mengampu banyak mata pelajaran.

Minimnya anggaran membuat penyelenggaraan tidak maksimal dan tidak meratanya kualitas pendidikan. Jumlah SMP lebih sedikit dari SD, jumlah SMA lebih sedikit dari SMP. Ini yang membuat kisruh. Sistem zonasi menjadi legitimasi sekaligus dalih atas nama pemerataan, padahal dana yang tak memadai untuk meningkatkan kualitas sekolah.

Skenarionya, siswa berprestasi bisa mempengaruhi yang biasa-biasa. Guru juga terimbas untuk meningkatkan kemampuan dengan keberadaan siswa berprestasi. Apakah skenario itu bisa berjalan? Ternyata tidak, justru bsebaliknya, si cerdas akhirnya ikut larut menjadi biasa. Karena manusia sebagai makhluk sosial, menyesuaikan diri dengan lingkungannya.

Demikianlah jika negara mengadopsi prinsip regulator, bukan pelayan. Parahnya, prinsip untung rugi juga menjadi standar dalam meregulasi dan melaksanakan suatu kebijakan. Memperbanyak sekolah swasta, jelas akan mengurangi beban anggaran pendidikan yang harus dikelola. Karena sekolah swasta menyelenggarakan pendidikan murni dari dana masyarakat, yaitu SPP yang dibayarkan oleh orang tua.

APBN memang mengkhawatirkan. Sebagian besar pemasukan dari pajak dan utang ribawi. Akibatnya, porsi pengeluaran terbesar pun untuk membayar utang plus bunganya. Lalu, pembiayaan penyelenggaraan negara pun minim sehingga membuka keran investor di sektor publik, termasuk pendidikan. Dan sudah galib kita ketahui, jika swasta yang mengelola maka orientasinya profit.

Negara seperti di atas, terlahir dari sistem kapitalis materialisme. Maka untuk mengembalikan peran negara, perlu ada perubahan sistem. Satu-satunya sistem yang membuat penguasa menyadari kewajiban dan tanggung jawabnya hanyalah sistem Islam kaffah. Wallaahu a’lam []

Mahrita Julia Hapsari, M.Pd
Praktisi Pendidikan

Back to top button