OPINI

Membuka Pintu untuk Para Kombatan

Repatriasi WNI eks ISIS masih jadi perdebatan. Pemerintah masih mengkaji plus minus pemulangan WNI. Di antara yang paling dikhawatirkan adalah pemikiran radikal dan virus teroris yang masih bersarang dalam benak WNI eks ISIS. Mereka was-was bila para kombatan itu membawa keradikalannya ke Indonesia.

Menkopolhukam, Mahfud MD, mengatakan pemerintah tak mau terburu-buru memberi keputusan. Perlu kajian mendalam termasuk mempertimbangkan untung ruginya.

Adapun menurut Menteri Agama, Fachrul Razi, pemulangan WNI eks ISIS terkait banyak hal. Di antaranya upaya pembinaan, penerimaaan masyarakat terhadap mereka, dan program deradikalisasi yang harus dijalani. Pemerintah, kata Menag, bersinergi dengan berbagai unsur seperti lembaga swadaya masyarakat dan ormas keagamaan untuk membahas kemungkinan pemulangan WNI mantan ISIS. Lembaganya akan terus menggerakkan penguatan moderasi beragama dan toleransi. (Tirto.id, 7/2/2020).

Adanya 600 WNI eks ISIS yang meminta pulang ke Indonesia juga mendapat perhatian MUI. Wakil Sekretaris Jenderal MUI, Ustaz Zaitun Rasmin meminta agar pemerintah melibatkan ulama terkait wacana tersebut. Menurut beliau, setiap warga negara Indonesia berhak untuk pulang selama kewarganegaraannya masih berlaku. Membuka pintu kepulangan untuk para kombatan, sebaiknya pemerintah memperhatikan beberapa poin berikut:

Pertama, para residivis eks ISIS yang masih berstatus WNI, mereka masih memiliki hak penuh sebagai warga negara. Artinya, pemerintah berkewajiban melindungi WNI disana. Suka atau tidak mereka tetaplah warga Indonesia. Jika terjadi penolakan lantaran paspor dibakar, itu artinya negara abai melakukan perlindungan. Mantan Komisioner Komnas Perempuan, Riri Khariroh, mengatakan pemerintah harus jeli memilah WNI yang akan dipulangkan, khususnya perempuan dan anak-anak. Rerata mereka adalah korban propaganda ISIS.

Kedua, upaya pembinaan seharusnya melalui pendekatan akidah dan pemahaman Islam yang benar. Bukan melakukan program deradikalisasi atau moderasi seperti yang disampaikan Menag Fachrul. Mereka harus diberi pembekalan dan pembinaan terkait pemahaman jihad, khilafah, dan terorisme. Agar mereka tak salah menafsiri hukum syariah tentang jihad, khilafah, dan terorisme. Selama ini, program deradikalisasi justru mengkerdilkan arti jihad dan khilafah dengan kacamata moderasi agama. Belum mendudukkannya sebagai ajaran Islam yang memiliki rambu-rambu syariah dalam penerapannya. Khilafah yang digagas ISIS tentu sangat bertentangan dengan Islam. Jihad yang mereka lakoni juga salah sasaran. Inilah yang perlu diluruskan. Bukan mengamputasi ajarannya.

Ketiga, sudah jamak diketahui bahwa ISIS tidaklah mewakili konsep negara Islam yang sesuai tuntutan Nabi saw. Bahkan mereka menyimpang dari konsep negara Islam yang dicontohkan Rasulullah saw. Hillary Clinton sendiri sudah pernah mengakui dalam wawancara media beberapa waktu silam bahwa ada peran AS terkait ISIS dan gerakan radikal lainnya di dunia. Mantan staf National Security Agency (NSA) atau Badan Keamanan Nasional Amerika Serikat, Edward Snowden, pernah mengatakan ISIS adalah boneka ciptaan Amerika, termasuk Inggris dan Israel. Itu artinya, ISIS bukan Islam, dan Islam bukan ISIS.

Keempat, terkait penerimaan masyarakat. Perkara ini sejatinya berpulang kepada pemerintah sendiri. Sejauh mana upaya pemerintah menghilangkan stigma teroris dan radikal yang sudah kadung dilekatkan pada umat Islam. Seakan Islam itu sumber masalah dan sarang teroris. Apa dan bagaimana makna radikal dan teroris sendiri tak pernah final. Hal ini karena pengaruh proyek deradikalisasi yang diinisiasi Barat untuk menciptakan Islamofobia terhadap ajaran Islam. Alhasil, monsterisasi dan generalisasi terhadap ajaran Islam marak terjadi. Lebih parah lagi, pemerintah pula yang paling nyaring ‘mendendangkan’ narasi ini. Yakni radikalisme. Ketakutan masyarakat terhadap keberadaan kombatan sedikit banyak terpengaruh opini dan narasi radikalisme yang terus menerus didengungkan kepada mereka.

Maka dari itu, membina dan mendidik para residivis ISIS memang harusnya melibatkan para ulama, ormas Islam, dan pihak terkait. Mengapa? Agar mereka tak salah memahami penerapan ajaran Islam. Bukan melalui moderasi agama. Ini sama halnya pemikiran salah diobati dengan resep yang keliru. Bina mereka dengan Islam sebenar-benarnya. Bukan dibentuk menjadi sekuler, liberal, moderat, atau radikal ala ISIS. Tapi mendidik mereka sebagai muslim sejati yang kaffah dan berideologi sahih. Berkepribadian Islam dengan pola pikir dan pola sikap yang sesuai tuntunan Islam.

Chusnatul Jannah
Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban

Artikel Terkait

Back to top button