Menulis Titah Allah dan Rasul-Nya
“Rabun membaca pincang menulis.” Quote sastrawan Taufik Ismail menyikapi rendahnya literasi (membaca dan menulis) generasi belasan tahun lalu. Keresahan sang sastrawan tentu beralasan, karena literasi adalah tolak ukur peradaban. Sayangnya seiiring dengan semakin pesatnya teknologi, literasi generasi millennial tetaplah jumpalitan. Mengapa?
Menonton hiburan dan mengakses media sosial lebih digandrungi karena dianggap menarik dan happy excited. Sedangkan membaca buku, menulis atau berselancar mencari ilmu pengetahuan dianggap membosankan dan unhappy. Wajar, karena aktivitas ini termasuk berpikir aktif yang mengkoneksikan sel-sel syaraf otak. Termasuk ‘berat’ bagi yang ‘malas’ berpikir.
Lantas bagaimana cara menumbuhkan semangat literasi generasi?
Bagi muslim, mendudukkan makna literasi bukan sekadar hobi, meraih ambisi royalti atau beban tugas dan kerja. Tapi haruslah mendudukkannya dalam bingkai akidah. Maksudnya kesadaran penuh, literasi adalah titah Allah dan RasulNya. Sehingga selalu ‘hidup’ azzam diri untuk meniti dan menikmati literasi.
Titah Agung untuk Risalah Dakwah
Allah SWT berfirman dalam wahyu pertama: Bacalah dengan (menyebut) nama Rabbmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Rabbmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran qalam (pena). Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (QS. Al-‘Alaq: 1-5).
Tak lama berselang dari turunnya wahyu pertama, Allah kembali menurunkan wahyu yang berkaitan erat dengannya.
“Nun. Demi pena dan apa yang mereka tuliskan.” (QS. Al Qalam ayat 1).
Allah SWT mengawali wahyu pertama dalam dakwah Rasulullah SAW dengan perintah membaca. Ini mengisyaratkan urgennya membaca untuk mengenal dan mencintai Rabb semesta alam. Perintah membaca diikuti dengan penjelasan bahwa Allah mengajarkan manusia apa yang tak diketahuinya dengan pena. Urgennya keberadaan pena dan tulisan, disampaikan Allah disertai sumpah. Pesan mendalam di balik sumpah yaitu pena dan tulisan adalah wasilah Allah dalam meyampaikan risalahNya pada makhlukNya. Dalam ayat selanjutnya, Allah menjanjikan pahala tak terputus ketika hambaNya menggunakan pena untuk menyebarkan risalahNya.
“Ikatlah (catatlah) ilmu dengan tulisan.” (HR. Ibnu ‘Abdil Barr)
Hadits mulia di atas, menjelaskan pentingnya menulis. Kalimat hadits menggunakan fi’il amr, perintah untuk dilakukan sekarang dan akan datang. Maknanya dalam thalabul ‘ilmi, ilmu diikat dan dijaga dengan menulisnya. Setelah mempelajari ilmu dan mengamalkannya, kewajiban muslim untuk mendakwahkannya. Dakwah tak hanya dengan lisan tapi juga tulisan.
Menulis menjadi jalan untuk mengagungkan Allah dan mensyiarkan Islam. Menulis terkait tsaqafah Islam berarti memberikan ilmu bermanfaat bagi para perindu syurga. Dengan menulis, hakikatnya Allah ‘memilih’ dirinya sebagai agen dakwah Islam. Sungguh kehormatan yang Allah berikan pada hambaNya.