RESONANSI

Minyak Goreng, Tukang Bakso, Holywings…

Jadi, sungguh, seharusnya masalah kelangkaan dan mahalnya minyak goreng ini, jika pun terjadi dan berada di negara kapitalis liberal itu sekalipun bisa mengudeta negara, melengserkan Presidennya!!

Demikian pun ketika kondisi perpolitikan negara tengah diruwetkan masalah Preshold 20%, wajarlah dalam kerangka mempersiapkan kontestasi Pilpres 2024, banyak partai-partai sudah menyelenggarakan Rakernas atau sejenisnya, tujuannya membangun koalisi, mencari calon Presiden, dsb.

Padahal, jika pun mereka tidak ber-Rakernas, bersembunyi-sembunyi dengan politik berkepura-puraan, mereka pun dengan adanya Preshold 20% sudah jelas para anggota kelompok oligarki partai-partai bisa memainkan “truf” politiknya itu agartetap berkuasa kembali yaitu bisa berupa turunannya, duplikasinya dan atau koloninya.

Dan sesuai tradisi partai-partai kita penganut demokrasi semu alias “behind the track democracy” itu, Ketua Umum sebagai pemegang hak prerogatif partai, show must go on, pastilah ditunggu-tunggu oleh publik, pidato tunggalnya di mimbar di event Rakernas itu.

Tapi kali ini Tuhan Yang Maha Esa, melalaikannya dan membutakan hatinya dengan menyelimutinya kejumawaan, kesombongan dan kemasgulannya.

PDIP yang satu dekade sebagai pemenang Pemilu, Pileg dan Pilkada itu, sekaligus memenangkan Jokowi Pilpres, Megawati keceletot lidah —bahkan wawasan dan wacana amat jauh bak bumi dengan langit dengan ayahandanya sebagai Proklamator Negara, tak sepadan dengan hibah sembilan gelar Doktor HC-nya yang disandangnya, sesungguhnya hal-hal yang tak perlu diutarakan malah terbuncahkan: hingga menghina profesi tukang bakso, yang sesungguhnya tak ada salahnya sebagai ladang usaha kecil untuk survival hidupnya mempertahankan mata pencahariannya yang konsumennya pun mayoritas kebanyakan rakyat kecil juga. Mereka tak menyusahkan negara kok, tapi jasa mereka justru memudahkan warga negara memenuhi kebutuhan makannya, dengan harga yang sangat terjangkau.

Bayangkan! Tukang Bakso ini sebagai simbol kekuatan dan kemandirian, adalah salah satu yang menjadi cerita heroik yang akan tercatat dalam sejarah, bersama jutaan UMKN lainnya ketika Indonesia tengah menghadapi krisis ekonomi 1998 lalu, merekalah justru yang menjadi soko guru mempertahankan ekonomi bangsa ini tidak terpuruk dan ambruk, ketimbang ketakpedulian para oligarki konglomerasi itu pada bangsa ini dengan kabur keluar negeri menyelamatkan aset-asetnya sendiri.

Jadi, peristiwa ini pun menunjukkan, bahwa inangnya partai pengusung Presidennya pun, bak peribahasa lebih dari sekadar “kacang lupa kulitnya”, yang ketika mereka susah-susahnya berkiprah di politik selalu membawa-bawa propaganda wong cilik, ketika Megawati dan PDIP berkuasa berubah menjadi sangat elitis justru kepada wong cilik mereka menghinanya, melecehkannya.

Jadi, sungguh, seharusnya masalah martabat tukang bakso ini, jika pun terjadi dan berada di negara kapitalis liberal itu sekalipun, partai yang kemudian tampaknya rasis dan melecehkan wong cilik yang semula menjadi pendukung loyalisnya ini sudah selayaknyalah tak dimenangkan di Pilpres 2024, tak dimenangkan pula calon Presiden yang diusungnya nanti.

Pun yang tengah membuncah masalah Holywings, holding perseroan yang bergerak di segala bidang usaha malam-malam “mesum dan haram”, resto, kafe, night club, pub, diskotik, dsb sejenisnya. Kok, hanya setelah dua tiga tahun semenjak didirikannya bertumbuh sangat cepat melesat jumlahnya sudah puluhan tersebar di pelbagai kota besar di Indonesia, bahkan untuk Bali akan didirikan Holywings terbesar di Asia.

Sangat cepat pesatnya pertumbuhan Holywings itu menjadi pertanda, sebagian masyarakat kita yang tengah menikmati kekayaan, adalah dua kelompok komunitas, pertama kaum jetset kota megapolitan yang bersuka hura-hura dan pesta pora, komunitas kedua, ntahlah apakah cuan mereka mendapatkannya dari hasil korupsi, kejahatan kriminal narkoba, perjudian, penggelapan, dsb, adalah bagian yang lazim ketika kran lanjutan uang yang mengalir akan ke tempat seperti Holywings ini.

Jadi, Holywings, adalah simbol tempat berkumpul, sesungguhnya adalah komunitas orang-orang pesakitan megapolitan, yang sudah tak peduli lagi dengan kepentingan sosial dan lingkungan, kecuali pesta kebebasan, kesenangan dan seolah kemenangan bagi dirinya, khususnya bagi mereka setelah merampas hak dan kepemilikan orang lain atau sama saja dengan cara “mencuri dan menggelapkan”, sebagai korupsi.

Laman sebelumnya 1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button