Mudrick Sangidu dan People Power
Bukan Mudrick Sangidu jika tidak bisa bikin heboh. Modalnya adalah keyakinan kuat akan perjuangan kebenaran yang berbasis kerakyatan. Dalam rangka HUT Ke-26 Mega Bintang di Gedung Umat Islam Surakarta Mudrick mengundang tokoh nasional dan daerah untuk hadir dalam acara diskusi bertema “Rakyat Bertanya Kapan People Power”.
Tema tersebut unik dan menggigit. Unik karena masalah politik yang peka “people power” dipertanyakan kapannya. Menggigit karena “people power” adalah gerakan perlawanan rakyat untuk mengkritisi bahkan mengganti rezim. Artinya rezim diasumsikan telah salah jalan dan keluar rel. Harus diluruskan dan bila perlu diganti.
Para tokoh yang diundang sebagian menjadi pembicara di antaranya Prof Dr Amien Rais MA, Dr Muhammad Taufik, SH MH, Prof Dr Eggi Sudjana, SH, HM Syukri Fadholi, SH MKn, Dr Syahganda Nainggolan, M Rizal Fadillah, SH, Ahmad Khozinudin, SH dan Mayjen TNI Purn Deddy S Budiman. Hadir pula Muslim Arbi, Eddy Mulyadi, KH Ir. Andri Kurniawan, Sutoyo Abdi, Ir. Syafril Sjofyan dan lainnya.
Para pembicara pada pokoknya, menyampaikan pandangan multi sisi bahwa rezim Jokowi telah keluar dari rel Konstitusi dan tidak mampu lagi memimpin bangsa dengan baik. Dirasakan semakin tiran dan oligarkis. Karenanya demi penyelamatan bangsa dan pemulihan serta penegakan kedaulatan rakyat maka Jokowi harus mundur atau dimundurkan.
People power adalah sarana konstitusional untuk mendukung proses tersebut. Tanpa desakan dan kekuatan rakyat maka skeptis terjadinya perubahan politik secara signifikan. Pemilu dikhawatirkan tidak fair dan jujur. Gejala politik “menghalalkan segala cara” telah tercium oleh rakyat. Dan rakyat tidak bisa tinggal diam.
Mendesak agar Jokowi mundur oleh mekanisme “people power” memiliki legitimasi berdasarkan Ketetapan MPR No VI Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Sedangkan pemakzulan melalui DPR dan MPR jika dipenuhi syarat sebagaimana diatur oleh UUD 1945 khususnya Pasal 7A. Untuk hal ini para pembicara menilai syarat pemakzulan telah dipenuhi.
Mudrick Setiawan Sangidu “Bapak” Mega Bintang mengingatkan perlunya rakyat memiliki keberanian untuk melakukan koreksi rezim. Pemakzulan Jokowi menjadi keniscayaan bila memang ia sudah sulit diingatkan atau diperbaiki. Suara “singa tua” Sangidu masih cukup kuat untuk menjadikan forum HUT Mega Bintang sebagai ajang silaturahmi yang hingar bingar. Bersemangat perubahan.
Solo memulai menggaungkan “people power” mengingatkan peristiwa tahun 1998 saat Presiden Soeharto lengser. Pemimpin gerakan perubahan saat itu Prof Dr Amien Rais juga hadir dalam acara Mudrick Sangidu tersebut. Tokoh kelahiran Solo itu kini mengkritisi dan mendesak mundur Presiden Jokowi yang juga orang Solo.
Kita semua harus menghormati proses politik demokratis Pemilu 2024. Semestinya Pemilu berlangsung jujur dan adil, siapapun yang kelak terpilih baik anggota legislatif maupun Presiden dan Kepala Daerah harus diterima oleh rakyat. Asal Pemilu berjalan tertib dan sesuai dengan norma dan etika. Dijalankan secara fair dalam arti jujur dan adil. Bukan curang dan berpihak.
Masalahnya, gejala politik yang ada dan terbaca adalah keraguan akan pelaksanaan asas jujur dan adil tersebut. Jegal-menjegal kandidat sudah dimulai. Hukum dijadikan alat kepentingan politik bahkan terjadi sandera menyandera. Kondisi tidak sehat bahkan sakit menyebabkan perlunya solusi lain termasuk mendesak Presiden mundur atau dimundurkan.
Ketika pilihan pada desakan mundur atau dimundurkan maka mekanisme konstitisionalnya adalah aksi rakyat untuk mendesak. Itulah “people power”. Sejarah ketatanegaraan bangsa memberi pelajaran absah dan efektifnya people power untuk rezim kuat atau merasa kuat atau dibayang-bayang oleh kekuatan imajinasi.
Mudrick Sangidu memberi pelajaran dari Solo. Ia menangkap aspirasi rakyat yang bertanya kapan people power? Jawabannya tentu ketika rakyat itu mulai melakukan people power itu sendiri. []
M. Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 12 Juni 2023