OPINI

Paradoks “Climate Change”

Musim dingin yang akan datang di Eropa dapat menjadi bencana yang lebih parah dari pandemi Covid-19. Bagi suatu negara yang bukan merupakan penghasil energi dan sedang memulihkan ekonomi setelah pandemi Covid-19 menjadi hal yang sangat menakutkan bagi negara-negara yang berhadapan dua masalah, krisis energi dan ekonomi. Musim dingin telah memaksa orang-orang untuk beradaptasi dengan cuaca yang ekstrem.

Energi sangat dibutuhkan untuk menghangatkan tubuh, menyalakan lampu, memasak makanan, menyalakan kendaraan dan untuk mengaktifkan mesin-mesin industri agar aktifitas ekonomi dapat berjalan. Krisis energi dan ekonomi adalah ketergantungan terhadap energi. Kekurangan energi alternatif yang terjadi di pasar energi global dapat berdampak bagi kehidupan orang-orang di Eropa dan di negara yang mengalami musim dingin.

Di tengah musim dingin yang tiba-tiba, dan ekonomi negara konsumen energi sedang berbenah diri, melonjaknya harga energi hingga ratusan persen dari harga sebelumnya benar-benar sebuah bencana. Harga batubara, minyak, gas meningkat dua kali lipat. Negara pengekspor energi baik itu gas alam dan minyak juga menyimpan cadangan energi untuk negaranya dan membatasi jumlah ekspor, menaikkan harga seakan menjadi sebuah sinyal mengancam kehidupan dan sendi-sendi ekonomi negara konsumen.

Climate change (perubahan iklim) bagi sebagian pengamat digambarkan sebagai kerusakan alam yang disebabkan oleh pertambangan batubara, pengeboran minyak bumi dan gas alam. Pertambangan batubara, minyak dan gas alam yang proses mendapatkannya merusak lingkungan, udara, ekosistem dan menghasilkan sederetan karbon, telah memaksa manusia bertransisi ke energi hijau atau energi terbarukan.

Menjadi pertanyaan berbagai kalangan apakah aspek perubahan iklim dan kerusakan alam hanya disebabkan penambangan energi fosil (minyak, gas) dan batu bara? Ataukah perubahan iklim adalah siklus alami?

Faktor signifikan dari banyak faktor yang beredar di media, dibalik krisis energi yang paling terdekat adalah efek dari Pandemi Covid-19. Pada awal kemunculan Pandemi Covid-19 menjadi goncangan seluruh sektor ekonomi di dunia. Selama Pandemi Covid-19 permintaan terhadap energi menurun, industri tidak beraktifitas, orang-orang tidak bekerja berakibat menghambat pertumbuhan ekonomi, interaksi ekonomi internasional berhenti dan hampir seluruh negara menutup pintunya.

Produsen energi menghentikan aktifitas tambang dan pengeborannya, berefek kurangnya produksi energi untuk di ekspor. Kini Pandemi Covid-19 dapat dikendalikan tapi seluruh dunia dituntut mempercepat pemulihan ekonominya. Terbatasnya pasokan energi global menyebabkan permintaan yang tidak terduga. Proses menuju pemulihan ekonomi setelah Pandemi Covid-19 menjadikan permintaan terhadap energi berada di sektor ekonomi tertinggi yang membuat semua rantai pasokan global terganggu. Hambatan pengiriman energi minyak, gas dan batubara terhambat karena semua manusia harus menyelesaikan segalanya dalam ruang yang terbatas.

Krisis energi setelah Pandemi Covid-19 yang paling terasa terjadi di Eropa yang kekurangan cadangan energi untuk musim dingin. Komitmen-komitmen yang dibangun dalam Diplomasi Iklim untuk lebih perduli pada iklim dan janji pencapaian target emisi nol persen dimasa depan, menunjukkan fakta bahwa negara-negara di dunia masih sangat tergantung pada bahan bakar fosil yang jumlahnya kini harus dibatasi dan harganya semakin mahal. Jerman yang memiliki reputasi sebagai pemimpin iklim dan keseimbangan energi pada skala global, masih bergantung pada energi fosil dengan membangun komitmen kerjasama antara Jerman dan Rusia dalam pembangunan pipa gas Rusia Nord Stream 2 dibawah laut Baltik.

Upaya beralih ke energi hijau atau energi terbarukan yang ramah lingkungan, dalam sisi ekonomi politik membutuhkan waktu yang lama bagi permintaan dapat memenuhi kebutuhan energi negara-negara di dunia. Eropa yang sejak tahun 1960 bergantung pada energi Rusia (dahulu Uni Soviet), membutuhkan energi dalam jumlah besar untuk memulihkan ekonominya dan untuk persiapan musim dingin.

Krisis energi bergejolak di pasar energi global di Eropa, menjadikan kekuatan utama di pasar gas alam dan minyak berada dalam genggaman Rusia yang diduga menjadikan energi sebagai alat tekanan politik. Eropa yang juga membeli gas alam China, harus rela menahan diri ketika China mulai berkomitmen mengurangi pemakaian batubara dan beralih ke gas alam. Selama ini Uni Eropa bergantung pada impor energi minyak dan gas dari Rusia sebanyak 80%, Norwegia 5%, Algeria 7%, Qatar 6% dari negara lain 29%. Beberapa distribusi dikirim melalui kapal-kapal tanker yaitu gas dalam bentuk cair, Rusia mendistribusikan melalui pipa gas yang melintasi laut Baltik menuju Eropa.

1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button