OPINI

Paradoks “Climate Change”

Dulu, Uni Soviet membangun jalur pipa gas menuju eropa transit di Ukraina, Nord Stream 1 yang terhubung dari ladang gas Uni Soviet di Siberia ke lokasi penyimpanan di Ukraina melintasi Kyiv yang kemudian di salurkan ke seluruh Eropa. Artinya ada uang Eropa milyaran Euro di dalam pipa gas yang transit di Ukraina dan melintasi Kyiv memunculkan masalah baru, dari mulai kebocoran gas, pencurian gas, distribusi lambat, harga yang berubah-ubah, tekanan politik dan lain lain. Hubungan ekonomi politik akan berpotensi pada pengaruh tekanan ekonomi karena tatanan keamanan ekonomi pada pasar energi Rusia-Eropa sangatlah penting untuk stabilitas geopolitik.

Kekhawatiran Uni Eropa ketika Uni Eropa mengalami kekurangan gas alam setelah Pandemi Covid-19 terjadi secara tiba-tiba. Negara-negara Uni Eropa berlomba-lomba meningkatkan penyimpanan minyak dan gas. Uni Eropa dihantui kekosongan stok gas untuk musim dingin. Rusia yang dianggap lambat mengirim gas tambahan ke Uni Eropa dan diduga menjadikan energi sebagai tekanan politik dengan menaikkan tarif harga yang tinggi, Rusia menyangkal dan berujar bahwa kesalahan itu karena Uni Eropa tidak mampu mengatur distribusi gas, pemakaian yang boros dan penyimpanan cadangan gas yang tidak efektif.

Dalam teori Hegemonic Stability menjelaskan bahwasannya Hegemoni Rusia terhadap energi di Eropa selama ini sangat diperlukan Eropa untuk keberlangsungan kehidupan dan ekonomi industri Uni Eropa. Teori Hegemonic Stability dalam kasus ini untuk membuktikan bahwa tidak ada kekuatan supranasional yang absolut diatas negara sehingga muncullah aktor yang menghegemoni yang menjaga kegiatan ekonomi (Gilpin; 1987).

Definisi hegemoni yang pada dasarnya merupakan etimologis dari leadership atau kepemimpinan yaitu sebuah kekuatan yang didominasi oleh yang memiliki pengaruh kuat dalam isu yang sedang berkembang (Arrighi,2006;366-367). Hal tersebut menyebabkan aktor-aktor lainnya cenderung menuruti aturan-aturan aktor hegemon karena peran dan posisinya sangat penting dalam politik internasional (Gilpin,1987;73). Pada kasus krisis energi Eropa disebutkan negara Adidaya terhadap energi dunia dan berkuasa adalah Rusia. Rusia tampil sebagai negara Super Power yang dapat memenuhi atau membatasi kebutuhan permintaan minyak dan gas Uni Eropa.

Di tengah isu Climate Change dan forum Diplomasi Iklim yang berlangsung di Glasgow 2021, pipa gas Nord Stream 2 membentang dari Ust Luga Rusia ke Greifswald Jerman dibangun dengan menghabiskan 9,5 Miliar Euro. Jerman sebagai penyimpan gas untuk seluruh negara-negara Uni Eropa menggantikan posisi Ukraina. Komitmen Uni Eropa dalam Climate Change pun dipertanyakan. Nord Stream 2 yang menembus Jerman dianggap penting bagi masa depan ekonomi Uni Eropa. Rusia mendapat 50% pendapatan ekspor minyak dan gas setiap tahun, Rusia sebagai negara Adidaya energi menguasai seperempat persen energi di dunia.

Isu Climate Change (Perubahan Iklim) yang mendorong dunia agar beralih ke energi hijau atau terbarukan membuat Rusia bersiap menghadapi masa depan dimana ekspor gas secara besar-besaran tidak diperlukan lagi. Tatanan Ekonomi Politik yang mengendalikan energi di Eropa sepanjang tergantung pada Rusia membuatnya memegang kendali, memelihara stabilitas pasar energi global beserta kebijakan-kebijakan energi internasionalnya. Tapi apakah negara-negara didunia benar-benar siap dengan ketersediaan energi hijau atau terbarukan yang sangat terbatas dimasa depan dan apakah bisa bertahan tanpa energi fosil.

Sebagian pengamat menilai negara-negara konsumen energi tidak bisa secara tiba-tiba tidak memakai energi fosil. Negara-negara OPEC memiliki hak untuk menentukan pasar. Jadi kontrol dari negara produsen energi dalam Ekonomi Politik Internasional masih diperlukan selama Uni Eropa belum mendapatkan alternatif energi. Ketergantungan energi Uni Eropa terhadap Rusia masih sangat tinggi maka kerja-kerja politik internasional Uni Eropa dimasa depan tentunya harus lebih maju demi menutup celah eksploitasi dan tekanan politik terhadapnya.

Target-target ambisius energi hijau atau terbarukan untuk mengurangi emisi dari bahan bakar fosil telah menjadi momok menakutkan sebelum energi terbarukan itu siap sepenuhnya untuk digunakan pada semua sektor. Menjadi tantangan negara-negara yang akan beralih ke energi hijau atau terbarukan dimana mereka harus mengurangi investasi bahan bakar fosil tapi harus berinvestasi dalam teknologi energi hijau atau terbarukan yang belum jelas apakah stabilitasnya bisa menyamai energi fosil (minyak dan gas). Harga teknologi energi hijau atau terbarukan diduga lebih tinggi dan menuntut inovasi.

Banyaknya investasi ke teknologi energi hijau atau terbarukan yang dilakukan dan terbatasnya kuantiti, artinya tidak mungkin mencukupi kebutuhan energi negara-negara didunia, tidak menutup kemungkinan mendorong praktek monopoli teknologi energi hijau atau terbarukan oleh korporasi dan negara-negara besar yang mengendalikan pasar. Rencana membuat regulasi dalam forum internasional meningkatkan kerja sama teknologi energi hijau atau terbarukan, tidak menutup kemungkinan mendorong pemerintah menetapkan regulasi pajak terhadap penggunaan energi karbon yang tentunya akan membebani banyak orang di dunia.

Jika negara-negara dunia ketiga tidak memiliki investasi energi pada energi hijau atau terbarukan maka akan muncul fenomena kemiskinan. Dapat dipastikan Rusia, China, India, Arab Saudi dan negara-negara penghasil minyak, gas dan batubara tidak akan memilih kemiskinan energi dan membebani ekonomi rakyatnya yang dapat mendorong ketidakstabilan ekonomi dan politik domestik. Pada akhirnya masalah climate change atau perubahan iklim akan menjadi masalah krisis energi Uni Eropa dalam mengelola investasi pada sektor energi. Tampaknya transisi ke energi hijau atau terbarukan ini dapat menjadi peluang namun tidak dapat di realisasikan saat ini. Karena perlu waktu bertahun-tahun membangun infrastrukturnya.

Laman sebelumnya 1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button