SUARA PEMBACA

Polemik Hukuman Mati, Siapa yang Menengahi?

Islam memiliki sistem hukum pidana yang disyariatkan untuk mencegah manusia dari tindak kejahatan. Firman Allah SWT., “Dalam hukum kisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagi kalian, hai orang-orang berakal, supaya kalian bertakwa.” (Q.S. Al-Baqarah: 179). Maksud dari ayat ini adalah terdapat hikmah yang sangat besar dalam hukum kisas, yaitu menjaga jiwa.

Islam mengatur, bahwa pemerkosa dijatuhi had zina (sanksi atas perzinaan). Jika pelakunya telah menikah (muhshan), ia dirajam sampai mati. Sementara, jika pelakunya belum menikah (ghayr muhshan), ia dijilid dengan seratus kali dera.

Allah SWT. berfirman, “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah.” (Q.S. An-Nur: 2)

Sementara, bagi pelaku pencabulan, pelanggaran terhadap kehormatan, dan pelanggaran terhadap diri, termasuk hukuman takzir. Hukuman takzir diserahkan kepada penguasa atau hakim yang pidananya boleh sama dengan sanksi dalam hudud (sanksi-sanksi yang telah ditetapkan kadarnya oleh Allah SWT) dan jinayah (penganiayaan terhadap badan) atau lebih rendah, tetapi tidak boleh melebihi dari keduanya.

Setiap sanksi dalam Islam telah diatur sedemikian rupa guna mencegah manusia dari berbagai tindakan kejahatan dan menebus dosa pelakunya di hadapan Allah SWT. Namun, setiap sanksi yang ditetapkan mengharuskan adanya seorang pemimpin dalam institusi negara. Tidak bisa memberlakukan sanksi pidana Islam dalam sistem Kapitalis seperti saat ini yang jelas-jelas buatan manusia dengan berbagai kelamahannya.

Selain peran dari negara dalam menerapkan sanksi yang tegas bagi pelaku kejahatan, ketakwaan individu, dan masyarakat yang peduli, mutlak diperlukan. Ketakwaan individu adalah suatu kewajiban yang diperintahkan oleh Allah SWT kepada setiap umatnya.

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu”. (QS at-Tahrim”. [66]: 6)

Sedangkan masyarakat yang peduli, akan saling mengingatkan, menyerukan kepada yang ma’ruf dan mencegah kepada kemungkaran, agar menjadi umat yang terbaik dimata Allah SWT.

‘’Perumpaan orang yang teguh menjalankan hukum- hukum Allah dan orang yang terjerumus di dalamnya bagaikan kelompok orang yang berada didalam sebuah perahu. Sebagian mereka berada di atas dan sebagian mereka di bawah. Adapun mereka yang di bawah, bila memerlukan air minum, maka mereka harus naik keatas dan melewati orang-orang yang berada di atas, sehingga mereka berkata, “Lebih baik kita lubangi saja perahu ini, agar tidak mengganggu saudara-saudara kita yang berada di atas.” Maka bila mereka yang berada di atas membiarkan niat orang-orang yang berada di bawah, niscaya binasalah mereka semua. Akan tetapi bila mereka mencegahnya maka akan selamatlah mereka semua”. (HR Bukhari)

Tiga pilar masyarakat Islam ini lah yang menjadi penopang keberlangsungan penerapan syariah di negeri ini dan menjadi tameng berbagai tindak kejahatan yang saat ini kian merajalela. Wallahu’alam bishshawwab.

Tia Damayanti, M.Pd., Praktisi Pendidikan dan Pemerhati Masalah Sosial

Laman sebelumnya 1 2

Artikel Terkait

Back to top button