RESONANSI

Preferensi Gatot Nurmantyo sebagai Bacawapres Mumpuni Anies

Menyingkirkan dan mengeliminasi adanya stigmatisasi paradigma atas nama agama: “politik identitas” yang secara sengaja dihembuskan oleh para anasir lawan politik melalui para buzzeRp membuat polarisasi di kalangan masyarakat seolah menebar semangat kebencian, intoleransi dan radikalisasi.

Kecuali, tiada ampun dan tiada tempat lain untuk eksis dan hidupnya segala anasir dan eksistensial biang dan kerok atheisme —yang jelas-jelas sudah sangat amat dilarang oleh konstusional negara kita, yaitu yang selaras dengan ajaran, paham dan idiologi komunisme.

Kedua, ini yang berkedudukan paling utama dan penting dari alasan prereferensial kemampuan mumpuni secara efektif fungsional Jenderal Gatot Nurmantyo ini.

Karena beliau mantan Panglima TNI di kepemimpinan negara dan bangsa sebagai Wakil Presiden momentumnya diharapkan menjadi satu-satunya orang yang akan bisa secara mumpuni untuk pertama kalinya mereformasi TNI yang semenjak Orde Baru menjadi bagian lebih strategis dan penting di rezim kekuasaan ketika Presiden Soeharto melahirkan Dwi Fungsi ABRI dulu.

Adanya dwi fungsi ABRI tersebut banyak para perwira tinggi TNI yang duduk di pemerintahan dan menjabat jabatan strategis hingga dewasa ini di era reformasi sekalipun “kekuatan atas kekuasaan” para perwira tinggi itu masih berpengaruh merepresentasikan citra buruk bagi perkembangan iklim dan isu yang moderat terhadap “kebebasan” demokratisasi di setiap rezim kekuasaan.

Dalam perkembangannya kemudian bahkan tidak hanya menjadi cover up dan backing di internal korporasi konglomerasi, bahkan di setiap etape periodisasi rezim penguasa ketika mereka keduanya berkelindan menjalin konspirasi dan kolusi.

Dan itu sudah sangat mencolok di era rezim penguasa Jokowi, bahkan lebih jauh para perwira tinggi itu berada di lingkaran Istana dan Kabinet justru mengambil peran ganda sebagai: “Penguasa-Pengusaha” yang sungguh sangat sulit tersentuh hukum.

Jika dibandingkan sekalipun dengan perilaku kejahatan para perwira tinggi di lembaga negara keamanan lain alias di institusi kepolisian melalui “organisasi Satgassus Non Struktural” justru mereka secara terselubung meng-cover up_dan mem-_back up di lini jaringan organisasi kriminal mafia judi on/off line, narkoba, prostitusi-traffiking, penyelundupan barang dan ilegal logging, penggelapan pajak, investasi bodong, korupsi pejabat dan money laundring, mafia migas, mafia tanah, mafia tambang, bahkan mafia-mafia bahan-bahan kebutuhan rakyat sampai dijarahnya, dsb.

Di ujung muaranya, para perilaku dan atitude perwira tinggi baik di TNI maupun di Kepolisian yang demikian itu hanya akan mengganjal keberlangsungan kehidupan politik demokratisasi dan upaya penegakkan supremasi hukum yang berkeadilan yang kemudian konspirasi, kolusi, dan korupsinya berbalik kembali bak “lingkaran setan” hanya melahirkan rezim penguasa dan kekuasaan yang otoritarianisme.

Inilah yang menjadi salah satu prioritas perhatian dan bagian tugas pokok serta ruang lingkup kinerja Jenderal Gatot Nurmantyo mereformasinya secara sistemik, masif dan struktural melakukan upaya “turning point” mengembalikan tupoksi TNI ke barak secara murni dan konsekuen sebagai lembaga ketahanan dan pertahanan yang sesungguhnya banyak pekerjaan TNI mengembalikan kedaulatan negara yang cenderung terabaikan dan telah terkooptasi oleh asing dan aseng baik secara politik maupun ekonomi.

Terlebih, nanti di tengah-tengah begitu sengitnya kompetisi secara mondial dan global: jaminan ketahanan dan pertahanan wilayah, eksploitasi dan eksplorasi SDA lebih didominasi kekuatan asing dan aseng serta eksplorasi di bidang kemaritiman dan kelautan yang masih belum banyak terjamah.

Demikian juga di institusi negara Polri sejatinya mengembalikan sepenuhnya tupoksinya di bidang perlindungan dan pengayoman hukum dan keamanan masyarakat yang sudah sangat terabaikan.

Laman sebelumnya 1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button