OPINI

Presiden Marah, Kok Malah Pada Mati Rasa?

Wajar curiga

Jarak antara peristiwa dan unggahan di medsos memang pantas dicurigai. Wajar kalau semuanya diduga sudah direncanakan sebagai bagian dari strategi kampanye, pemasaran politik. Termasuk marah-marahnya.

Kemungkinan besar video tersebut telah mengalami editing. Dipilih secara cermat poin-poin yang harus sampai pesannya kepada publik. Termasuk target pesan yang harus sampai.

Video itu sengaja disimpan dan menunggu waktu yang tepat. Dalam bahasa media, beritanya diembargo.

Waktu publikasinya juga dipilih cermat, yakni pada hari libur, sepi berita, sehingga bisa langsung meledak di publik.

Tim komunikasi Presiden pasti sangat menyadari bahwa penanganan pandemi yang amburadul, bantuan sosial yang acakadut, dan perekonomian yang ambyar, menjadi keresahan dan memunculkan kemarahan publik. Jadi harus ada placement, jadi kambing hitam.

Yang paling empuk menjadi sasaran adalah Menkes Terawan. Sejak awal pandemi, Terawan yang harusnya paling bertanggungjawab, terkesan tidak mengetahui tugas dan tanggung jawabnya.

Dia terkesan menganggap enteng, meremehkan. Bekerja biasa-biasa saja, dan menganggap situasinya normal. Tidak ada sense of crisis.

Baru berhasil menyembuhkan pasien suspect 1 langsung merayakan. Bikin selebrasi, seolah sudah menang perang.

Coba perhatikan kalimat yang digunakan Jokowi ketika dia “marah.” Semuanya pas menggambarkan posisi dan kondisi Terawan.

Presiden berkali-kali menggunakan kalimat-kalimat, sense of crisis, berkerja biasa-biasa saja, menganggap situasinya normal, dan bertanggung jawab kepada 267 juta rakyat Indonesia. Kalimat terakhir diulangnya sebanyak tiga kali.

Sejauh target meledakkan kemarahan ke publik, tim komunikasi Presiden sangat berhasil. Mereka cukup cermat memilih topik, waktu peluncurannya, dan siapa yang harus menjadi kambing hitam.

Mereka juga cukup sukses dalam menyiapkan dan mengerahkan buzzer. Hampir semua unggahan video marahnya Jokowi di berbagai kanal media mendapat komentar positif. Komentarnya hampir seragam baik dari tone, bahkan sampai detil per kalimatnya….Hmmmm

Sayangnya mereka tidak menyadari dan tidak tepat membaca psikologi publik. Sejak bencana Corona, publik sangat kecewa dengan cara pemerintahan Jokowi menanganinya.

Tidak bisa Jokowi menyalahkan para menteri, anak buahnya. Ketika pandemi merebak, Jokowi dengan gagah menyatakan akan memimpin perang melawan Corona.

Publik juga mencatat penegasan Jokowi, tidak ada visi misi menteri. Yang ada visi misi presiden-wakil presiden.

“Tolong itu dicatat,” tegasnya ketika memimpin sidang kabinet pertama 24 November 2019.

Jadi para menteri hanya melaksanakan tugas, mengimplementasikan visi misi Presiden.

Kalau para menteri tidak bekerja sesuai visi misi, tidak sesuai harapan Presiden, tinggal pecat. Cukup segera copot, ganti, cari yang lebih tepat. Cari menteri yang bisa menjalankan tugas dan visi misi presiden.

Tidak perlu mengumbar kesalahan, memarahi, dan mengancam reshufle di depan publik.

Jangan salahkan publik kalau skeptis, mati rasa, menilai Presiden lebay. Mereka sudah terbiasa dan mahfum dengan gaya Jokowi.

Dari sisi komunikasi, tim komunikasi politik Jokowi gagal total. Mereka tidak menyadari adanya brand damage (merek dagang yang rusak).

Alih-alih mencoba melakukan mitigasi dan memperbaiki kerusakan, mereka mencoba mengalihkan kesalahan ke pihak lain, para menteri.

Dalam teori pemasaran, brand damage terjadi karena sebuah brand secara konsisten tidak memenuhi janjinya kepada konsumen. Antara produk dan promosinya tidak nyambung. Terlalu dilebih-lebihkan. Over estimated.

Brand-brand semacam ini hanya menarik konsumen karena didukung kampanye besar-besaran di media. Namun lama-kelamaan akan kehilangan kepercayaan dari konsumen dan kemudian ditinggalkan.

Bahaya itu lah yang kini tengah mengancam Jokowi. Apapun yang dilakukannya, salah. Jokowi lagi mati gaya. end

Hersubeno Arief

Sumber: Facebook Hersubeno Arief

Laman sebelumnya 1 2

Artikel Terkait

Back to top button