Seni Bukan Penanda Peradaban Bermutu Tinggi
Karya seni besar acapkali lahir dengan seting situasi krisis dalam peradaban. Candi-candi yang megah dan rumit di Pulau Jawa, pada saat yang sama adalah cermin kekuasaan yang despotik (lalim), penindasan kasta tinggi terhadap Sudra dan Paria yang dipaksa kerja bakti untuk membangunnya. Tidak heran candi-candi cenderung terkubur dan dilupakan berbilang abad, sebab ditinggalkan rakyatnya yg pergi dari rajanya di pedalaman ke pesisir. Di pesisir, rakyat, bertemu dan menerima Islam dengan suka cita.
Raffles (Inggris) dalam awal abad ke-19 menemukan candi-candi tersebut dan memugarnya. Candi-candi itu kemudian dijadikan sebagai instrumen nativisasi (nativisasi adalah proyek penjajah untuk mengokohkan penguasaannya atas Jawa dengan cara membesar-besarkan prestasi budaya era pra Islam untuk mendegradasi (menggembosi) kebesaran masa Islam. Mengapa citra Islam yg didegradasi? Sebab Islam/muslim adalah sumber perlawanan utama terhadap kolonialisme itu sendiri).
Bukan hanya candi, bahkan pada tulisan yang beririsan dengan seni, seperti seni sastra. Syair-syair Ronggowarsito lahir dari potret buram masyarakat Jawa, lagi-lagi pasca berakhirnya Perang Jawa (1825-1830). Di sini seni menjadi potret kefuturan moral sekaitan dengan memuncaknya cengkeraman kolonialisme Belanda secara politik dan militer.
Demikianlah seni bukan parameter ketinggian moralitas dan pemikiran. Sering malah sebaliknya, dalam arti menggambarkan ada masalah pada jiwa masyarakatnya. Dan di sinilah fungsi unik seni.
Teori SMN Al Attas (1931-masih hidup) tersebut agaknya mengombinasikan konsep integral Islam, dan konsep trikotomi Barat. Dalam konsep Barat, nilai estetika, nilai etika, dan nilai ilmu, adalah tiga domain yang berbeda, dan kemajuan peradaban cenderung didasarkan pada indikator material, berupa produk-produk estetika yang rumit, indah, megah, dsb.
SMN Al Attas menggugat validitas material sebagai penanda mutu peradaban. Menurutnya produk-produk estetika itu mengungkapkan mentalitet/moralitas kolektif masyarakat produsennya. Relasi antara mutu estetik dan mutu moral, seringkali berbanding terbalik.
Relasi paradoks (hubungan yang bertolak belakang atau berbanding terbalik) tersebut tampaknya sejalan dengan teori Ibnu Khaldun (1332-1406) tentang kekuasaan. Bahwa kekuasaan itu cenderung menuju kefuturan (kemunduran) secara moral. Ironisnya, secara material estetik justru tampak gemerlap, megah, dan rumit.
Al Attas sama sekali tidak merendahkan seni. Ia justru mau bilang, bahwa seni mengatakan yang sejatinya terjadi secara mental. Dan inilah tugas seniman, disadari atau tidak disadari oleh seniman itu sendiri. Wallaahu a’lam bishawab.
Fauzie Ahmad Antawirya