Singa Itu Telah Berpulang
Setelah puluhan tahun berjuang di jalanan, lelaki itu akhirnya menyelesaikan tugasnya.
Saya baru saja selesai menyampaikan materi dalam pelatihan jurnalisme kemanusiaan yang digelar Aksi Relawan Mandiri Himpunan Alumni IPB (ARM HA-IPB) di Gedung Alumni IPB, Bogor, Sabtu Siang kemarin (8/7), ketika sebaris berita duka muncul di notifikasi Whatsapp.
Innalillahi wa inna ilaihi raajiuun
Telah wafat Suami/Bapak/Kakek kami,
Moh Aru Syeif Fachruddin Assadullah bin Moch Koen Syarwanie
hari Sabtu, pukul 12.45 WIB di RS UI Depok.
Mohon dibukakan pintu maaf sebesar-besarnya.
Seketika tangan kanan saya yang sedang menyendok dua tiga suap terakhir makan siang itu pun terhenti. Segera saya raih telepon genggam yang sedang saya charge, untuk memastikan berita itu. Rupanya pesan itu muncul di grup WA Suara Islam di mana saya dicemplungkan di sana sejak beberapa tahun lalu. Mas Aru, begitu saya biasa memanggil lelaki itu, adalah Pemimpin Redaksi Tabloid dan Suara Islam Online. Innalillahi wa inna ilaihi raajiuun.
Makan siang nasi liwet ayam lengkuas yang semula terasa nikmat, mendadak jadi hambar. Saya langsung tercenung. Sebab, baru dua hari sebelumnya saya baru saja rasan dengan istri saya, untuk mencari waktu menengok Mas Aru yang sudah lama sakit jantung, dan kabarnya juga sempat mengalami stroke itu. Tapi rupanya, keinginan saya tak kesampaian. Siang itu Allah SWT telah memanggilnya pulang, untuk berkumpul dengan tokoh-tokoh Islam Indonesia yang sangat dicintainya.
Semula saya ingin segera pamit ke sahabat saya, Ketua Umum ARM Ahmad Husein dan bergegas pulang meninggalkan acara training, agar bisa segera takziyah ke rumah Mas Aru di Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Tapi saya teringat, bahwa masih ada satu sesi lagi yang harus diselenggarakan. Saya memang bukan pematerinya, tapi rasanya saya sangat tidak bertanggung jawab jika izin duluan. Sebab, acara pelatihan jurnalisme kebencanaan ini adalah program bidang Komunikasi ARM HA-IPB, di mana saya menjadi Kepala Bidangnya. Saya bertahan sampai selesai acara, dan baru pukul 17 saya balik ke Jakarta.
Di jalan saya menghubungi beberapa kawan yang takziyah ke rumah Almarhum Mas Aru. Rupanya, Almarhum akan diberangkatkan dari rumah setelah salat Maghrib, dan kemudian akan dimakamkan di TPU Srengseng Sawah. Sambil menghitung waktu, kalau saya ke rumah Mas Aru dulu di Lenteng Agung lewat jalan Margonda, pasti tidak akan terkejar. Sebab, di malam Minggu seperti itu, biasanya lalu lintas sangat padat. Akhirnya saya memutuskan untuk keluar tol Kukusan dan langsung ke makam. Dalam perjalanan, saya teringat akan berbagai kenangan saya tentang Mas Aru.
+++
September 1994. Siang itu saya sedang bersiap untuk pulang ke kantor saya, Majalah Forum Keadilan, di Velbak, Jakarta Selatan, setelah shalat zhuhur di Masjid Al Furqan Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII), di jalan Kramat Raya nomor 45, Jakarta Pusat. Saat itu saya mendapat penugasan dari Koordinator Liputan Forum, Pak Haji Hatmatho, untuk mewawancarai bekas Juru Bicara Partai Masyumi, Pak Dr Anwar Harjono, yang juga Ketua Umum DDII. Tapi rupanya Pak Anwar saat itu sedang di luar kota, sehingga saya tidak bisa mewawancarainya.
Dari pintu samping kantor Pusat DDII tiba-tiba muncul Mas Adian Husaini, kini doktor dan menjabat sebagai Ketua Umum DDII. Lelaki berwajah bulat yang murah senyum itu adalah kakak kelas saya di Institut Pertanian Bogor (IPB). Meski telah meraih gelar Dokter Hewan, ia memilih profesi sebagai wartawan, dan ikut membangun Koran Republika sejak awal. Sedangkan saya seorang Insinyur Ilmu Teknologi Kelautan yang saat itu masih mencari peruntungan sebagai calon reporter di majalah Forum Keadilan. Di masa itu banyak lulusan IPB yang menjadi wartawan. Saya pernah menghitung, hampir semua media di Jakarta ada tiga hingga delapan lulusan IPB yang menjadi wartawan, mulai dari tingkat reporter hingga level redaktur pelaksana.
“Lagi ngapain, Bal?”
“Mau nyari Pak Anwar Harjono, tapi nggak ada…”
“O gitu… Kamu sekarang di Forum ya?”
“Iya, Mas…”
“Udah dapat kontak Pak Anwar?”
“Belum… tadi sekretarisnya lagi nggak ada juga…”
“Kalau gitu ikut saya sini…”
Kami kemudian sedikit menyeberang ke sebuah bangunan yang memanjang di sisi kanan kantor DDII. Di sebuah pintu yang ditempeli stiker “Majalah Media Dakwah”, stiker “Say Assalamualaikum, before You Get In”, dan beberapa poster Mujahidin Afghanistan, kami berhenti, dan beruluk salam. Lalu kami pun masuk.
“Ini kantor Majalah Media Dakwah dan Majalah Suara Masjid. Saya ikut bantu-bantu di sini juga,” kata Mas Adian.
“Ooh… di sini… Di rumah Magelang, Bapak saya juga berlangganan Majalah Suara Masjid…,” jawab saya.
Di kantor Media Dakwah dan Suara Masjid itu saya kemudian diperkenalkan oleh Mas Adian dengan seorang lelaki bertubuh tinggi besar, kekar, bertampang Timur Tengah, dengan wajah berewok, kumis, dan jenggot yang lebat, serta rambut tebal gondrong hitam berombak. Ketika itu yang langsung terlintas di kepala saya adalah wajah singa yang garang.