Singa Itu Telah Berpulang
Dari perbincangan dengan Mas Aru, saya akhirnya tahu bahwa ternyata dia masih keponakan Profesor Dr. Ir. Sjamsoe’oed Sadjad MSc, guru besar ilmu dan teknologi benih IPB yang juga sempat mengajar isteri saya di jurusan Agronomi, IPB. Pantas saja jenggotnya pun sama-sama lebat, dan dengan nama yang sama-sama berat. Mas Aru ternyata juga masih sepupuan dengan Pemimpin Redaksi Jawa Pos saat itu, Pak Dahlan Iskan, yang kemudian pernah menjadi Menteri BUMN.
Tak hanya membantu mempertemukan dengan tokoh-tokoh eks Masyumi, Mas Aru kemudian sering mengajak saya ikut berkumpul dengan tokoh-tokoh Masyumi yang rajin menggelar rapat-rapat menjelang reformasi. Mereka menggelar pertemuan sebulan sekali untuk membahas berbagai perkembangan politik, kemasyarakatan, dan keumatan di Indonesia, termasuk menggagas partai baru untuk menampung aspirasi keluarga eks Masyumi, yang kemudian dinamai Partai Bulan Bintang.
Pertemuan-pertemuan itu diselenggarakan pada malam hari di rumah dinas Wakil Ketua DPA, Pak Cholil Badawi, di kawasan Kemang, Jakarta Selatan. Yang hadir sekitar 20 hingga 25 orang. Beberapa tokoh yang selalu datang adalah Pak Anwar Harjono, Pak Hartono Mardjono, Bang Ahmad Sumargono, Ketua DDII Bang Husein Umar, Bendahara DDII Pak AM Luthfie, Dosen IPB Pak AM Saifuddin, Mantan Anggota DPR dari Partai Masyumi Pak Mohammad Soelaiman, Pengasuh Pondok Pesantren As-Syafiiyah KH Abdul Rasyid bin Abdullah Syafi’ie, mantan Ketua Umum GPII Pak Abdul Qodir Djaelani, Pimpinan Pesantren Husnayain KH A. Cholil Ridwan, dan Dosen UIKA Bang MS Kaban.
Kadang hadir juga Ketua MUI Pusat, KH Hasan Basri, Akuntan Bang Farid Prawiranegara, dosen agama saya di IPB Prof Dr KH Didin Hafidhuddin, Ketua Umum PP Muhammadiyah Dr Amien Rais, Dosen ITB Prof Dr Imaduddin Abdurrahim, Dosen UI Bang Prof Dr Yusril Ihza Mahendra, Pemimpin Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang, KH Yusuf Hasyim, Ketua Umum PPP Buya Ismail Hassan Metareum, Kiai saya di Pesantren Al Azhar Bogor KH Tubagus Hassan Basri, dan masih banyak lagi.
Pernah hadir pula Pak Letjen TNI ZA Maulani sebelum menjadi Kepala BAKIN, juga Mas Prabowo Subianto, saat masih berpangkat Brigadir Jenderal dan baru saja diangkat menjadi Danjen Kopassus. Hadir juga Bang Kivlan Zein, sejak masih berpangkat Brigadir Jenderal dan beberapa perwira TNI lainnya dari AKABRI angkatan 1970 hingga 1975. Mereka kemudian dikenal dengan sebutan kelompok ABRI hijau. Tentara yang dekat dengan kalangan Islam. Rupanya para perwira tinggi dan menengah itu saat masih taruna dulu sering ngaji di Masjid Kauman Magelang, di bawah bimbingan Pak Cholil Badawi. Bahkan salah satu diantara mereka, Pak Abdurrahman Ghaffar, terakhir Pangdam I/Bukit Barisan, adalah menantu Pak Cholil.
Pertama kali saya diajak Mas untuk Aru ikut pertemuan-pertemuan itu pada tahun 1995, bersama beberapa mantan aktivis kampus dari berbagai daerah yang mulai bekerja di Jakarta. Karena jumlah kursi yang terbatas, kami yang muda-muda biasanya duduk di lantai sambil terkantuk-kantuk mendengarkan diskusi yang kadang sampai jam 12 malam. Begitu rapat selesai, Mas Aru selalu mengajak kami ke dapur. Sebab, biasanya Ibu Cholil sudah menyiapkan menu tambahan buat anak-anak muda berperut naga seperti kami, yang mampu menelan makanan apa saja. Biasanya, Ibu Cholil menyiapkan tempe bacem dan jadah, juga getuk. Semuanya makanan khas Magelang yang nikmat.
Sebagai seorang aktivis junior, di hadapan para tokoh sepuh itu awalnya kami lebih banyak mendengar dan memperhatikan penuturan mereka. Tapi belakangan, ketika suasana reformasi sudah semakin riuh, sesekali kami diminta pendapat atau menceritakan sesuatu peristiwa dari kacamata wartawan. Sebagai wartawan Istana, Mas Adian sering bercerita tentang apa yang terjadi di Istana, kebijakan-kebijakan yang muncul dari istana, dan berbagai manuver elite politik. Sementara Mas Hadi Musthofa dan saya sering diminta cerita tentang peristiwa yang terjadi di tengah masyarakat, misalnya tentang munculnya PRD, tentang Peristiwa 27 Juli, tentang manuver militer, dan juga suasana Pemilu 1997 dan sebagainya.
Pertemuan-pertemuan itu terus berlanjut sampai masa reformasi dan setelahnya. Jika semula pertemuan diselenggarakan di Rumah Dinas Pak Cholil Badawi di Kemang, kemudian berpindah ke rumah Pak Cholil di Kompleks Perumahan Kalibata Indah ketika BJ Habibie menjadi Presiden. Setelah Pak Cholil lebih sering tinggal di Magelang, pertemuan-pertemuan itu kemudian sering diselenggarakan di rumah KH Abdul Rasyid bin Abdullah Syafi’i di Bali Matraman, Tebet, Jakarta Selatan. Biasanya Mas Aru-lah yang memberitahu kami, tentang pertemuan-pertemuan itu. “Sesuk ngumpul neng Kiai Rosyid, Bal,” ujarnya via SMS, seperti biasa, dengan bahasa Jawa ngoko.
Dari interaksi dan pertemuan-pertemuan dengan tokoh-tokoh Masyumi itu, saya merasa dekat dengan Keluarga Bulan Bintang. Saya merasa cocok dengan pendapat-pendapat mereka dalam memahami berbagai masalah keumatan dan keindonesiaaan di tanah air. Sikap mereka tidak apriori, meski tetap tegas, dengan cita-cita mewujudkan negeri yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur, atau negeri yang baik, dan mendapat ampunan dari Allah, di Indonesia. Padahal secara genealogis saya tidak punya kedekatan langsung dengan mereka.
Sebagai Pegawai Negeri, di masa Orde Lama, Bapak dan Ibu saya adalah anggota PNI, partai kalangan priyayi, menurut pengelasan Clifford Geertz. Bahkan Ibu saya pernah menjadi Sekretaris Wanita Marhaen di tingkat Kabupaten, seangkatan dengan Pak Sutardjo Soerjogoeritno di PNI, sampai menjadi PDI, dan kemudian menjadi PDI Perjuangan. Lalu, di masa Orde Baru, masih sebagai pegawai negeri, kedua orang tua saya malah dijadikan juru penerang dan juru kampanye Golkar di tingkat kabupaten dan karesidenan.
Mungkin dari dua jalur Kakek Buyut saya, Mbah Kiai Kasandimedjo, dan Mbah Kiai Martodihardjo, saya punya kedekatan dengan kalangan santri. Mbah Kasandimedjo berasal dari keluarga santri dan pernah nyantri di Pesantren Ponorogo lama, milik Kiai Ageng Kasan Besari. Pesantren tua ini banyak menghasilkan tokoh-tokoh santri pada masanya. Sedangkan orang tua dan mertua Mbah Kiai Martodihardjo adalah panglima-panglima lokal Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa 1825 -1830. Di halaman rumah Mbah Martodihardjo maupun di halaman rumah Mbah Kasandimedjo tertanam pohon sawo, ciri pengikut setia Pangeran Diponegoro pada masa itu.
Di sisi lain, saya pun dekat dengan kalangan Nasionalis, dan banyak membaca buku-buku nasionalis karena kedekatan wacana dengan orang tua saya. Karena itu, saya bisa dekat dengan Mbah Tardjo; sesepuh Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia (GMNI) Pak Suko Sudarso; Anggota DPR Pak Sukowaluyo Mintorahardjo; dan bahkan Pak Taufiq Kiemas, suami Mbak Megawati Soekarnoputri. Dulu saya cukup sering diajak kumpul-kumpul di SPBU milik Pak Taufiq di jalan Lapangan Roos –sekarang jalan KH Abdullah Syafi’i– atau di Bendungan Hilir, dan juga beberapa kali di rumahnya di jalan Teuku Umar. Dalam perbincangan dengan Pak Taufiq, saya akhirnya tahu bahwa ayah Pak Taufik adalah Tokoh Masyumi di Sumatera Selatan. Jadi selain dekat dengan kalangan santri, saya juga dekat dengan kalangan nasionalis.