Soekarno, Pelacuran dan G30S PKI (Bag-1)
Soekarno melanjutkan, ”Bagiku, baik Declaration of Independence maupun Manifesto Komunis mengandung kebenaran-kebenaran yang abadi, tetapi negara-negara Barat tidak membolehkan adanya jalan tengah. Mereka memengaruhimu, sehingga engkau tidak lagi merdeka. Terhadap empat macam kemerdekaan yang dikemukakan oleh Presiden Rosevelt, aku menambahkan kemerdekaan yang kelima: Kemerdekaan untuk merdeka! Pihak Barat masih tetap mengancam,”Apakah Anda ingin dikuasai oleh Komunis?” Kami jawab,”Tidak…tapi kami pun tidak ingin dikuasai Anda.” Setidak-tidaknya Rusia tidak memaki-maki kami apabila kami tersenyum manis kepada Amerika. Satu bangsa yang berusaha mempertahankan kehidupannya harus menerima bantuan dari segala pihak, menerima segala yang bermanfaat dan membuang sisanya.”
Mengapa Soekarno kemudian dalam politiknya lebih memilih dekat Rusia dan Cina, daripada Amerika? Nampaknya fikirannya yang sejak muda akrab dengan Marx, Engels, Hegel dan ilmuwan-ilmuwan komunis lainnya mempengaruhi pengambilan keputusannya ketika menjadi presiden. Di samping juga ada pengalaman pribadi yang menyebalkan ketika ia berkunjung ke Amerika.
Soekarno menuturkannya kepada Cindy Adams,”Kemanapun aku berkunjung, aku disambut dengan semarak dan gegap gempita, dijamu di resepsi yang gemerlapan dan diterima dengan pujian. Bukan karena yang dating Soekarno, tapi karena bangsa-bangsa itu menunjukkan penghargaan kepada negeriku. Di Swedia mereka mengambil foto-foto dan Raja Swedia melihat bahwa aku berada di sebelah kirinya. “O, tidak, Tuan Presiden,” ia minta maaf. “Anda harus di sebelah kanan.” Ini adalah masalah kehormatan, karena menyangkut pemimpin dari suatu negara, sekalipun negara baru.
Di Moskow, 150 orang musisi memainkan lagu Indonesia Raya untuk menyambutku di lapangan terbang, meski aku datang dengan sebuah pesawat Amerika. Kejadian ini membuat air mataku berlinang karena bangga mendapat penghormatan seperti itu. Beijing menyambut kedatanganku dengan pawai hebat sekali dan tembakan penghormatan. Orang-orang yang bersamaku juga merasa bangga terhadapku, bangga karena bangsa kami yang dulu tertindas mendapat tempat di antara bangsa-bangsa besar.
Dan sekarang rakyat Amerika, aku bertanya kepadamu, mengapakah Eisenhower tidak memberiku penghormatan yang sama? Mengapa presidenmu menganggap rendah padaku, dengan sengaja menolak dan menghinaku? Aku diundang ke Washington tahun 1960. Eisenhower tidak dating menyambut kedatanganku di depan pesawat terbang -OK. Dia tidak menyambut kedatanganku di pintu Gedung Putih -kukira ini juga OK. Tetapi ketika dia membiarkan aku menunggu di luar di ruang tunggu, menunggu sangat lama, ini sungguh-sungguh tidak OK.
Aku menunggu dan menunggu. Akhirnya setelah hamper satu jam, dengan ketus aku bicara kepada protocol,”Apakah aku harus menunggu lebih lama lagi?” Bila demikian, aku aku akan pergi sekarang juga.” Orang itu menjadi pucat.” Saya mohon…Anda dapat menunggu sebentar,”katanya gugup dan berlari ke dalam. Kemudian keluarlah Eisenhower. Dia tidak minta maaf. Bahkan tidak berusaha memintanya ketika akhirnya aku diantarnya masuk.”
Meski Soekarno kecewa dengan sikap Eisenhower, ia memuji sikap Presiden Kennedy yang menyambutnya dengan ramah ketika ia berkunjung ke Amerika. Tapi bagaimanapun ia kecewa terhadap Amerika. Karena di masanya, tidak ada satupun Presiden Amerika yang mengunjungi Indonesia, meski ia telah berulangkali menyampaikan undangan ke Presiden Amerika.
Tahun 1956, usai mengunjungi Amerika Serikat, Bung Karno dan rombongan mengadakan lawatan ke dua negara komunis, RRC dan Uni Soviet. Di Moskow, ibukota negara yang sangat kental dengan komunismenya, Soekarno membuat sebuah perjanjian yang serba rahasia, yang terkenal dengan sebutan Moscow Agreement. Turut Bersama Soekarno dalam perundingan tokoh-tokoh komunis saat itu adalah Menteri Luar Negeri Roeslan Abdul Gani dan Suwito Kusumowidagdo. Sementara rombongan lain terdiri dari aktivis Masyumi, NU, Parkindo, Katolik, PSII dan lain-laiin. Di RRC Soekarno juga melakukan perjanjian rahasia yang dihadiri oleh Mao Ze Dong, tokoh Komunis Cina yang sangat berpengaruh. Isi perjanjian dengan RRC akhirnya diungkap olehh Menteri Pertahanan RRC Peng The Huai, yang menyebutkan bahwa RRC akan memberi bantuan senjata kepada Indonesia selama Bung Karno tetap menjabat sebagai kepala negara. Bantuan itu sendiri menurut kabar tidak jadi diberikan oleh RRC, namun lewat Menteri Luar Negeri Subandrio, bantuan persenjataan ke Indonesia datang dari Polandia, Cekoslovakia, dan Polandia atas desakan Soviet pada sekitar April dan Agustus 1957. (RZ Leirissa, PRRI Permesta Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis, Jakarta Pustaka Grafiti, 1991 dalam Artawijaya, Dilema Mayoritas, Medina Publishing 2008)
Sepulang dari muhibah ke negeri-negeri komunis itu Soekarno menyampaikan keinginan politik untuk membubarkan partai-partai. Mengacu pada negara-negara sosialis yang tidak menganut sistem multipartai, Soekarno mengatakan dengan banyaknya partai akan memunculkan penyakit kepartaian bagi Republik Indonesia, yang disebut paling berbahaya ketimbang penyakit kedaerahan dan kesukuan. Karena itu Indonesia harus mengembangkan sistem demokrasinya sendiri yaitu demokrasi terpimpin, dimana komunisme mempunyai hak yang sama dengan golongan lain. Pada masa itu juga Soekarno melakukan kebijakan politik luar negeri dengan membuka poros Jakarta-Hanoi-Peking, poros yang tentu saja sangat menguntungkan bagi kalangan komunis di Indonesia.
Soekarno memang egonya tinggi. Ia tidak mudah menerima masukan dari orang lain. Ia akan pegang teguh apa yang diyakininya, hingga terlaksana. Dalam biografinya, ia menuturkan, “Semangatku untuk menikmati kegembiraan tak terbatas. Aku mampu menyanyi dan menari hingga pukul tiga pagi dan aku dapat mengalahkan orang lain. Tetapi dengan begitu sedikitnya kesempatan untuk bergembira, aku harus menyelipkannya pada waktu kerja, kalau tidak dadaku akan terasa pengab. Seperti juga Demokrasi Terpimpin, cara Soekarno ini mungkin tidak cocok buat orang lain, tetapi inilah yang cocok buatku.”
Rektor Sekolah Teknik Tinggi (ITB), Prof Ir G Klopper ME berpesan kepada Soekarno ketika wisuda, ”Ir Soekarno, ijazah ini suatu saat dapat robek dan hancur menjadi abu. Dia tidak abadi. Ingatlah bahwa satu-satunya hal yang abadi adalah karakter dari seseorang. Kenangan terhadap karakter ini akan tetap hidup, sekalipun dia mati.” [BERSAMBUNG]
Nuim Hidayat, Direktur Forum Studi Sosial dan Politik