SUARA PEMBACA

THR Kok Dicicil, Nasib Buruh Kian Keruh?

Pengusaha/perusahaan wajib membayar upah pekerja sesuai akad yang disepakati. Sebagaimana firman Allah SWT, “Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak-mu) untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya.” (TQS. Ath-Thalaq: 6).

Ayat tersebut menjelaskan agar pemberi kerja  segera membayar upah pekerjanya, setelah pekerjaannya selesai. Hal ini juga sebagaimana sabda Rasulullah Saw, “Berikan kepada seorang pekerja upahnya sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah).

Merupakan suatu kezaliman, jika pemberi kerja menunda pemberian upah yang menjadi hak pekerja, padahal ia mampu. Hal ini sebagaimana sabda Baginda Nabi Muhammad Saw, “Menunda penunaian kewajiban (bagi yang mampu) termasuk kezaliman.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Jelas, hanya dalam naungan Islam, baik buruh/pekerja maupun pengusaha/perusahaan merupakan rakyat yang harus diayomi dan diurus. Pengusaha tidak akan dibebankan dengan seabrek tunjangan sosial untuk buruh. Buruh/pekerja pun tidak dipusingkan untuk menuntut haknya. Sebab semua itu menjadi kewajiban negara untuk memenuhinya sebagai pelayan bagi rakyat.

Sementara itu, peran negara dalam hubungan antara buruh/pekerja dan pengusaha/perusahaan adalah menjamin hak mereka dalam berserikat dan berpendapat. Menjadi peran negara pula menertibkan para pengusaha/perusahaan yang berlaku zalim kepada pekerjanya. Inilah mekanisme sistem Islam dalam menyelesaikan masalah perburuhan.

Maka, tak ayal lagi hanya dalam sistem Islam buruh/pekerja tidak akan dizalimi dan pengusaha/perusahaan tidak akan menzalimi. Keduanya akan sama-sama sejahtera dalam naungan Islam. Sementara penguasa akan senantiasa meletakkan kesejahteraan rakyat di atas kepentingan segelintir rakyatnya. Mekanisme ini akan terwujud, jika aturan Islam diterapkan secara kafah dalam institusi negara. Insyaallah. Wallahua’lam bishshawab.

Jannatu Naflah, Praktisi Pendidikan

Laman sebelumnya 1 2

Artikel Terkait

Back to top button