NUIM HIDAYAT

Tjokroaminoto: Lelaki Pertama yang Melukis Indonesia

Di Surabaya, hidupnya sederhana. Rumahnya berada di tengah-tengah perkampungan padat, beberapa puluh meter dari Kali Mas yang membelah kota Surabaya. Ia tinggal bersama istrinya, Soeharsikin, dan lima anaknya –Oetari, Oetarjo Anwar, Harsono, Islamiyah dan Sujud Ahmad. Mereka sekeluarga tinggal di bagian depan. Bagian belakang rumah disekat menjadi 10 kamar kecil-kecil tempat kos pemuda, seperti Soekarno, Alimin, Muso, Kartosoewirjo dan Semaoen. Mereka menemukan dunia dari pemimpin pergerakan yang hebat saat itu: sang Raja tanpa Mahkota. Sayang mereka berpisah jalan dengan Tjokro. Sebagian besar mereka mengikuti ideologi Marxisme, meninggalkan ideologi Islam sang Raja.

Pada 1919, Sarekat Islam memiliki sekitar 2,5 juta pengikut dari seluruh Indonesia. Oleh umatnya Tjokro dianggap juru selamat. Dalam ramalan Jayabaya, ratu adil bergelar Prabu Heru Tjokro –nama yang mirip Tjokroaminoto.

Di puncak popularitasnya Tjokroaminoto kerap dipanggil Heru Tjokro. Nama ini pernah pula disematkan pada Pangeran Diponegoro. Gelar lengkap Diponegoro adalah Sultan Abdul Hamid Herucakra Kabirul Mukminin Sayidin Panatagama Kalifatul Rasul Tanah Jawa.

Selain kemiripan nama, para pengikut Sarekat Islam mengaitkan ramalan Jayabaya dengan letusan Gunung Krakatau yang bertepatan dengan kelahiran Tjokroaminoto pada 1882. Bencana alam menurut Jayabaya menjadi pertanda hadirnya seorang messiah.

Haji Agoes Salim, pemimpin Sarekat Islam lainnya, memberikan kesaksian tentang Tjokroaminoto yang dielu-elukan pengikutnya. Dalam Sarekat Islam Gerakan Ratu Adil? Karangan APE Korver, pada 1919 Agus Salim menceritakan suasana Kongres Sarekat Islam di Situbondo, Jawa Timur.

“Menjelang rapat, 20 ribu orang memadati alun-alun yang menjadi tempat pertemuan. Semula panitia membatasi peserta hanya 7000 orang pemegang kartu anggota organisasi. “Walaupun dilarang berjabat tangan dengan Tjokroaminoto, orang-orang tetap berdesakan. Mereka ingin melihat wajah sang pemimpin.”

Ribuan orang merengsek ke depan agar bisa memegang dan mencium tangan, bahu, dan jas Tjokroaminoto. Sulit bernafas karena didesak pendukungnya, Tjokroaminoto melompat ke kursi. Tapi pengikutnya malah memeluk kaki. Mereka yang tak menjangkau Tjokroaminoto beralih memegang orang dekat di sekitarnya.

Kerumunan itu tak peduli meskipun orang dekat Tjokroaminoto berteriak bahwa mereka bukan pemimpin Sarekat Islam. “Tidak apalah, Anda kan patihnya?”jawab orang-orang itu seperti diceritakan Agoes Salim. Sambutan serupa juga terjadi di daerah lain yang dikunjungi Tjokroaminoto.

Dikultuskan pendukungnya, Tjokroaminoto merasa tak nyaman. Dalam Kongres Sarekat Islam di Bandung 1916, Tjokroaminoto berpidato yang intinya menolak dianggap ratu adil. “Walaupun hati kita penuh dengan harapan dan hasrat yang agung, kita tidak boleh bermimpi akan datangnya seorang ratu adil atau keadaan-keadaan lain yang mustahil.”

Penolakan ini tak serta merta menghentikan kekaguman para pengikut Sarekat Islam. Rasa Takjub mereka makin menjadi-jadi saat tersiar kabar Tjokroaminoto bertemu dengan Nabi. Dalam buku HOS Tjokroaminoto: Hidup dan Perjuangannya karya Amelz pada 1952, diceritakan suatu hari Tjokroaminoto sakit keras hingga tak sadarkan diri. Tak ada tabib yang mampu mengobati.

Pada suatu malam, saat terbaring lemah, sekonyong-konyong Tjokroaminoto membaca bacaan Al Qur’an dengan fasih. Suaranya nyaring dengan intonasi antara keras dan lemah. Tak berapa lama kemudian ia duduk lalu memekik:

Laman sebelumnya 1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button