OPINI

Ujaran Kebencian dan Kritik Penguasa, Samakah?

“Let the people have a political voice, the worker a social voice, the poor an economic voice, let the particular seize hold of the universal” – Jean Francois-Lyotard.

Ujaran kebencian (hate speech) secara sederhana dapat dipahami sebagai sebuah tindakan menghasut orang lain untuk membenci pihak tertentu dengan mengeksploitasi sentimen identitas, baik agama, warna kulit, jenis kelamin, orientasi seksual, ideologi politik, dan variabel sejenisnya. Dalam ajang kontestasi politik, ujaran kebencian kerap dipakai pihak tertentu untuk menjatuhkan lawan politik sekaligus menarik simpati publik.

Eric Heinze dalam bukunya Hate Speech and Democratic Citizenship (2016) menyebut bahwa maraknya ujaran kebencian dalam kontestasi politik di sejumlah negara dalam satu dekade belakangan ini dilatari oleh setidaknya dua faktor. Pertama, masih dominannya sikap prasangka buruk satu kelompok masyarakat terhadap kelompok lainnya. Prasangka buruk biasanya berawal dari kebiasaan masyarakat yang gemar mengidentifikasi suatu kelompok dengan pelabelan (stereotype) tertentu. Pelabelan negatif pada kelompok tertentu seringkali menjadi awal lahirnya ujaran kebencian yang menyasar kelompok tersebut.

Faktor kedua adalah adanya sikap inferior lantaran merasa tersisih atau terpinggirkan dari perebutan ruang sosial. Inferioritas inilah yang tidak jarang mengerucut pada sikap merasa terancam atas eksistensi kelompok yang mendominasi ruang sosial. Dalam konteks ini, ujaran kebencian lebih merupakan bentuk dari strategi untuk mendelegitimasi kelompok yang tengah dominan di ruang sosial.

Kondisi yang demikian itu kerap terjadi dalam konteks perebutan kekuasaan politik. Pihak-pihak yang kalah dalam pertarungan politik kerap menjadikan ujaran kebencian sebagai senjata untuk melemahkan dominasi rezim yang tengah berkuasa. Biasanya, praktik ujaran kebencian itu diklaim sebagai bentuk kritisisme dan kebebasan berpendapat yang dijamin dalam sistem demokrasi.

Ujaran Kebencian, Ambiguitas Kebebasan Berpendapat dalam Demokrasi

Kasus ujaran kebencian atau hate speech menjadi satu kasus yang banyak menyita dan menguras perhatian bangsa Indonesia beberapa tahun terakhir. Sejak tahun 2014 misalnya telah beredar sejumlah video ceramah di media online yang secara eksplisit menyerukan pada penontonnya menghunus pedang untuk membunuh atau menyingkirkan anggota keagamaan tertentu, seperti video KH. Abdul Qohar (Ketua FPI) Jawa Barat yang diunggah di youtube. Dosen Sosiologi UNJ sekaligus aktivis HAM Robertus Robet ditetapkan sebagai tersangka oleh Badan Reserse Kriminal Mabes Polri. Robert dilaporkan karena orasinya pada Aksi Kamisan 28 Februari 2019 lalu yang mengkritik pemerintahan Joko Widodo yang seolah-olah menghidupkan kembali dwifungsi TNI menjelang Pemilihan Presiden 2019. (kompas.com, 18/03/2019)

Yang terbaru ditangkapnya warga negara asing, Jerry D Gray, yang dituduh menyebarkan kebencian kepada pemerintah. Dalam video itu, perekam menanyakan perihal kondisi Indonesia saat ini kepada Jerry. Terkait pertanyaan itu, Jerry menyebut bahwa kondisi Indonesia saat ini sangat parah. “Memang kondisi Indonesia saat ini sangat parah, terlalu banyak kecurangan sama rezim yang ada sekarang. Sudah jelas ada instruksi komunis dan lain-lain masuk ke Indonesia mau diambil negara ini untuk dia sendiri,” tutur Jerry dalam video itu. (cnnindonesia.com, 28/05/2019)

Di negara demokrasi seperti Indonesia, kebebasan berpendapat menurut Jimly Asshiddiqie merupakan salah satu roh dan pilar tegaknya sistem demokrasi. Kebebasan berpendapat merupakan prasyarat mutlak agar rakyat dapat memainkan peran terbaiknya dalam sistem demokrasi secara cerdas dan bertanggung jawab. Jika tidak ada kebebasan, apapun alasan pengkebiriannya, maka tak akan ada demokrasi (www.jimly.com).

Oleh sebabnya kebebasan berpendapat ditempatkan sebagai salah satu hak yang paling mendasar dalam kehidupan bernegara yang dijamin oleh Konstitusi. Namun permasalahannya apakah kebebasan berpendapat dalam negara demokrasi berarti kebebasan yang bebas sebebas-bebasnya atau perlu dibatasi?

Dalam politik demokrasi, akan terjadi ambiguitas antara kebebasan untuk menyampaikan pendapat berupa kritik terhadap penguasa dengan ujaran kebencian. Karena prinsip dasarnya yang memisahkan antara kehidupan dan agama, membuat individu cenderung melakukan aktivitasnya dengan bebas termasuk kebebasan berpendapat. Kebebasan berpendapat merupakan hak yang dimiliki setiap warga negara untuk mengekspresikan pendapat dan aspirasinya tanpa campur tangan pemerintah yang berkuasa. Tetapi, kebebasan berpendapat yang terjadi di Indonesia dapat dikatakan bersifat paradoks, karena sebebas-bebasnya berpendapat dan berekspresi, masih terdapat suatu batasan dan memiliki undang-undang tersendiri.

1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button