Wajib Batal, Kenaikan PPN Jadi 12 Persen Langgar Wewenang Presiden dan DPR Periode 2024-2029
Aturan kenaikan PPN ini bermasalah secara hukum dan etika.
Pertama, kenapa selama ini Jokowi tidak menaikkan tarif PPN menjadi 12 persen, sebelum masa jabatannya berakhir pada 20 Oktober 2024 yang lalu?
Kenapa Jokowi sengaja membiarkan bola panas PPN ini kepada presiden Prabowo Subianto (atau presiden periode 2024-2029) yang belum genap berusia dua bulan?
Kedua, mengubah tarif pajak merupakan wewenang presiden dan DPR dalam masa jabatan, karena merupakan bagian dari kebijakan fiskal dan kebijakan ekonomi.
Artinya, Jokowi tidak bisa mengubah tarif pajak di luar masa jabatannya, yaitu 20 Oktober 2024. Jokowi tidak bisa mengubah tarif pajak untuk tiga tahun ke depan, lima tahun ke depan, 10 tahun ke depan melampaui masa jabatannya.
Pasal 7 ayat (3) mengatur, tarif PPN bisa diubah antara 5 persen sampai 15 persen. Tetapi ayat (4) mengatur, perubahan ini harus disampaikan oleh Pemerintah dan disetujui DPR. Ini baru peraturan yang benar. Setiap perubahan tarif pajak harus mendapat persetujuan dari DPR, dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi terkini.
Pasal 7 ayat (3) dan ayat (4) mencerminkan, kebijakan fiskal pada periode tertentu sepenuhnya menjadi wewenang presiden dan DPR di masa periode tersebut. Artinya, kebijakan fiskal (dan perubahan tarif pajak) tahun 2025 sepenuhnya merupakan wewenang presiden Prabowo Subianto dan DPR periode 2024-2029.
Artinya, Jokowi dan DPR periode 2019-2024 tidak mempunyai hak dan wewenang menaikkan tarif PPN menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025.
Tidak heran, mayoritas fraksi DPR (periode 2024-2029) keberatan dan menolak kenaikan PPN pada 1 Januari 2025, mengingat kondisi ekonomi saat ini sedang tidak baik.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka Pasal 7 ayat (1) huruf b UU Pajak tahun 2021 yang mengatur kenaikan PPN menjadi 12 persen paling lambat 1 Januari 2025 wajib batal demi hukum, karena melanggar wewenang presiden dan DPR periode 2024-2029. []
Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)