Body Positivity Syar’i
Polemik unggahan foto aktris Tara Basro yang mengampanyekan “body positivity” kembali menyembulkan pertanyaan tentang hak perempuan mengekspresikan hak atas tubuhnya dan batasan akan pornografi.
Unggahan foto aktris Tara Basro yang menampilkan dirinya tanpa busana, menghilang dari dunia maya Rabu (04/03) setelah sebelumnya sempat diklaim oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) berpotensi melanggar pasal kesusilaan dalam undang-undang informasi dan transaksi elektronik (UU ITE). (BBC News, 5/3/20)
Dalam unggahan lain di Instagram, dia memperlihatkan selulit di paha dan lipatan perutnya. Lewat foto tersebut, ia mengampanyekan body positivity, mengajak orang untuk mencintai tubuhnya dan percaya dengan diri sendiri. (BBC News, 5/3/20)
Body positivity sendiri mengacu pada pernyataan bahwa semua orang berhak memiliki citra tubuh yang positif, terlepas dari bagaimana orang lain melihat tubuh mereka. Tujuannya adalah membangun kepercayaan diri seseorang dengan tubuhnya dan membuat masyarakat berhenti untuk terlalu bergantung pada standar bentuk fisik yang terkadang tidak realistis. (Kalbar Online, 8/3/20)
Manusia hari ini kebanyakan manusia yang rapuh, tidak independen dan semaunya sendiri. Bagaimana tidak, dalam konteks kali ini body positivity digadang sebagai sesuatu yang positif, sehingga diupayakan dan diserukan kepada khalayak ramai.
Namun, dengan standar bias upaya mengejar body positivity malah menimbulkan berbagai macam respon. Di antaranya kontra dan negatif. Termasuk Kemenkominfo yang menganggap foto body positivity tersebut dianggap tabu dan tak pantas. Kemudian setelah menampilkan foto tabu dengan dalih body positivity, ditegur banyak orang, merasaterintimidasi, jadi playing victim. Padahal dia duluan melakukan aksi.
Manusia adalah hamba. Ia bukan tiba-tiba ada di dunia ini, bukan pula karena orang tuanya ada maka dia ada. Sejatinya ia adalah makhluk ciptaan Allah, yang memiliki ssegala kekhilafan. Segala kebaikan yang ada pada diri manusia adalah milikNya. Adalah mitos ketika dikatakan manusia, khususnya perempuan, memiliki hak prerogatif terhadap tubuhnya, sehingga ia bebas bertindak apa saja.
Sehingga wajar jika banyak orang menanggapi “foto telanjang”nya bertebaran di sosial media adalah hal buruk. Bukan body shaming, netizen hanya mengingatkan. Namun memang, tidak jarang netizen yang maha benar itu salah dalam menyampaikan gagasannya.
Kebebasan bertingkah laku adalah buah pikir liberalisme, yang membebaskan siapa saja berperilaku apa saja. Tanpa peduli norma, selama dirasa tak mengganggu orang lain. Padahal, aktivitas membuka aurat kepada siapa saja sejatinya adalah wujud menghinakan diri sendiri, baik di hadapan Allah maupun di hadapan manusia.
Rasa insecure adalah dampak dari iklan produk-produk kecantikan. Cantik ala kapitalisme menggerogoti benak muslimah, sehingga mereka merubah standar cantik mereka. Dalam hal ini, negara punya peran besar dalam membangun mindset warganya. Menanamkan keimanan dalam kurikulum pendidikan, menggambarkan standar cantik yang sesuai Islam bukan ala kapitalis sekuler, mengatur tontonan dan iklan di media sehingga menjaga pola pikir warganya, memola tren berbusana tetap dalam koridor syara’. Ini semua berimbas besar dalam pola pikir rakyat terkait mitos cantik. Sehingga tidak ada lagi insecurity dalam jiwa muslimah ketika akidahnya mantap.
Islam telah mengatur bagaimana muslimah menjaga “body”nya. Manusia tidak memiliki kewenangan memperlakukan tubuhnya. Hanya Dialah Sang Pencipta dan Sang Pengatur yang memiliki hak prerogatif mengatur hambaNya.
Cantik dalam Islam adalah ketika ia taat kepada Allah. Sehingga, bukan menampakkan aurat di dunia maya maupun nyata, malah sebaliknya. Perempuan menutup auratnya kecuali pada mahrom. Ini baru the real body positivity. Dia independen apa kata netizen, dan percaya diri dengan tubuhnya. Selama taat Allah, ia yakin ia cantik.
Selain pada pelaku, Islam juga mengatur bagaimana seharusnya netizen berkomentar. Islam mengatur tutur kata muslim baik saat bersua maupun di media sosial, yakin perkataan yang baik dan memuat hikmah. Bukan dengan dalih berdakwah, kita jadi bebas berkata apa saja, tapi tetap harus dengan cara yang baik dan sopan.
Islam itu sempurna, hanya kita yang alpa. Mari kita kembali mendalaminya agar cantik kita tidak sebatas dunia tapi sampai ke surga. Wallahu a’lam bishowab.
(Keni Rahayu, S. Pd)