SYARIAH

Ijtihad Para Sahabat

Disebutkan dalam Ash-Sahihain bahwa ketika Nabi Saw kembali dari Khandaq, tidak lama setelah meletakkan senjata dan mandi, Jibril datang kepadanya lalu berkata, “Apakah kamu sudah meletakkan senjata? Demi Allah, kami belum meletakkannya. Berangkatlah kepada mereka!” Nabi Saw bertanya, “Kemana?” Jibril menjawab, “Ke sana,” seraya menunjuk ke arah perkampungan Bani Quraidhah. Nabi Saw kemudian berangkat mendatangi mereka.

Nabi Saw memerintahkan kaum Muslimin supaya tidak seorang pun di antara mereka melaksanakan shalat Ashar kecuali setelah tiba di kampung Bani Quraidhah. Di Tengah jalan, tibalah waktu shalat Ashar. Sebagian berkata, “Kami tidak akan shalat sehingga kami sampai di sana.” Sebagian yang lainnya berkata, “Kami akan melakukan shalat karena bukan itu yang dimaksudkan Nabi Saw.” Mereka kemudian melaporkan kejadian itu kepada Nabi Saw, tetapi Beliau tidak mengecam atau menegur terhadap salah seorang pun di antara mereka.

Bagian ini membahas perselisihan para sahabat dalam memahami ucapan Rasulullah Saw, “Janganlah ada seorang pun yang shalat Ashar kecuali setelah sampai di Bani Quraidhah.”

Tidak adanya seorang pun diantara mereka yang dikecam atau disalahkan oleh Nabi Saw merupakan dalil penting bagi salah satu prinsip syariat yang agung ini, yaitu ketetapan prinsip perbedaan pendapat dalam masalah-masalah furu’ (cabang) dengan menganggap masing-masing dari kedua belah pihak yang berselisih pendapat mendapatkan pahala dan termaafkan (kesalahannya), baik kita kataan bahwa pihak yang benar itu hanya satu maupun bisa lebih dari satu. Sebagaimana ia juga menyimpulkan prinsip ijtihad dalam menyimpulkan hukum-hukum syariat. Di samping itu, peristiwa ini menunjukkan bahwa menuntaskan perselisihan dalam masalah-masalah furu’ yang timbul dari dalil-dalil dzanni adalah sesuatu yang tidak mungkin karena Allah memperhamba para hamba-Nya dengan dua macam taklif (kewajiban).

Pertama, menerapkan perintah-perintah tertentu dan jelas yang berkaitan dengan akidah dan perilaku (suluk).

Kedua, mencari dan mengerahkan segenap upaya untuk memahami prinsip-prinsip dan hukum-hukum far’iyah dari dalil-dalil yang umum dan beraneka macam. Seseorang yang mendapati waktu shalat di suatu pedalaman dan tidak mengetahui arah kiblat secara pasti, tidaklah dituntut lebih dari tercerminnya ‘ubudiyah kepada Allah dalam mengerahkan segenap usahanya untuk mengetahui arah kibat sesuai dengan apa yang dipahaminya dan atas tanda-tanda yang dilihatnya. Bila ia sudah yakin akan arah kiblat yang dicarinya, ia boleh shalat menghadap kepadanya dengan tenang.

Selain itu, terdapat beberapa hikmah dari adanya dalil-dalil dan nash-nash syariat yang zhanniyud dilalah (tidak tegas penunjukannya). Yang terpenting diantaranya, agar ijtihad-ijtihad yang berlainan mengenai suatu masalah itu seluruhnya memiliki hubungan yang erat dengan dalil-dalil yang mu’tabarah secara syar’i sehingga kaum Musimin memiliki keleluasaan untuk mengambil dalil yang mana saja yang mereka kehendaki sesuai dengan tuntutan situasi dan kemaslahatan mereka. Hal ini termasuk salah satu bentuk rahmat Allah Swt kepada para hamba-Nya di setiap zaman dan waktu.

Dengan demikian, usaha-usaha untuk menghapuskan perbedaan pendapat (khilafiyah) dalam masalah-masalah furu’ adalah bertentangan dengan hikmah Rabbaniah dan tadbir (rekayasa) Ilahi dalam syariat-Nya, di samping merupakan salah satu jenis kesia-siaan. Sebab, bagaimana anda akan menghapuskan adanya perbedaan pendapat selama dalilnya bersifat zhanni dan mengandung beberapa kemungkinan (muhtamal)? Seandainya hal itu terjadi pada suatu masa, niscaya sudah terjadi di masa Rasulullah Saw, dan orang yang paling pantas untuk tidak berbeda pendapat adalah para sahabat. Ternyata mereka juga berselisih pendapat sebagaimana kita lihat dalam peristiwa ini. Wallahu a’lam bissawab. []

Artikel Terkait

Back to top button