Jejak Komunitas Arab-Hadrami dalam Persepakbolaan Indonesia

Sepak bola merupakan salah satu olahraga yang banyak berpengaruh dalam kehidupan masyarakat. Hal itu karena sifat dari sepak bola itu sendiri, yakni: Pertama, permainan ini sangat sederhana sehingga mudah dimainkan. Kedua, sepak bola menjadi olahraga yang dapat menyalurkan kepenatan baik psikis maupun psikologis (Pradana, 2019).
Selain itu, Arief Natakusumah di dalam bukunya berjudul, “Drama Itu Bernama Sepak Bola”, mengatakan, sepak bola bisa populer karena seluruh komunitas, kota, bahkan negara dapat mengidentifikasikan diri mereka ke dalam tim kesayangannya. Dengan demikian, sepak bola telah menjadi referensi internasional dalam budaya global serta melewati sudut pandang perbedaan wilayah, negara, dan generasi (Natakusumah, 2008).
Bahkan menurut Arief, sepak bola mampu mengatasnamakan apa saja dalam bidang kehidupan masyarakat seperti, sarana meningkatkan hubungan antar dua negara. Maka tak heran jika, pejabat atau badan sepak bola internasional mampu memainkan peran konsiliasi, seperti PBB. Sebab disana sepak bola ditempatkan bukan hanya sebagai olahraga, tetapi dalam beragam kerangka, seperti kebudayaan, sosial, ekonomi, dan agama.
Dengan beragam kerangka yang meliputi sepak bola, sepak bola juga bisa dijadikan alat untuk mengangkat suatu bangsa, daerah atau identitas yang dapat dikenal di masyarakat. Maka tidak heran jika di tingkat lokal seperti Indonesia, banyak lahir klub-klub sepak bola yang mewakili, baik wilayah atau identitasnya, seperti klub sepak bola yang dibentuk oleh komunitas Arab-Hadrami.
Jejak Komunitas Sepak Bola Arab-Hadrami
Kehadiran orang-orang Arab, khususnya kaum Hadrami, baik yang merupakan sayyid (keturunan Nabi Muhammad Saw) atau yang non-Sayyid seperti al-Katiri, Baswedan, Bobsaid, Alamoedi, dan Basilim. Bukan saja telah mewarnai kehidupan masyarakat di Indonesia, tetapi juga telah memberi peran yang besar, khususnya dalam bidang olahraga sepak bola.
Sebagai masyarakat yang mendiami wilayah Indonesia, pada tahun 1930 orang Arab membentuk klub sepak bola bernama An-Nasher di Surabaya. Nama An-Nasher sendiri diambil dari bahasa Arab yang mempunyai arti kemenangan. Klub ini berdiri berawal dari keinginan para pemuda yang berada di Ampel yang awalnya ingin menyalurkan hobi bermain sepak bola. Adapun pendiri klub An-Nasher sendiri terdiri dari Yislam Murtak, Salim Barmen, Mohammad bin Said Martak, dan Mohammad Balmar (Hidayat, 2013).
Pada Awalnya klub An-Nasher berbentuk PO (Perhimpunan Olahraga) yang tidak saja menaungi sepak bola, tetapi olahraga lain seperti pencak silat dan bola voli. Karena adanya hubungan baik antara orang Arab dengan Belanda, sehingga pada tanggal 13 Mei 1932 An-Nasher mulai masuk menjadi anggota NIVB (Nederlandsch Indische Voetbal Bond), yakni persatuan sepak bola Hindia Belanda. Sehingga bisa mengikuti kompetisi SVB (Soerabajasche Voetbal Bond) (Hidayat, 2013).
Dari An-Nasher ke Assyabaab
Seiring berjalannya waktu, ketika Jepang menduduki Indonesia telah membuat klub An-Nasher berhenti melakukan aktivitas olahraganya. Namun, hal itu tidak menyurutkan langkah etnis Arab untuk tetap bermain sepak bola, hal itu ditandai dengan pergantian nama klub dari An-Nasher menjadi Assyabaab pada 16 Juni 1948. Dipilihnya nama Assyabaab berasal dari penyebutan anak-anak muda orang Arab yang dipanggil dengan sebutan “Syabaab” yang artinya pemuda (Hidayat, 2013).
Novan Herfiyana (penulis buku Persib Undercover), mencoba mengarsipkan sejarah dan kiprah Assyaabaab dalam kancah sepak bola Indonesia. Berdasarkan hasil risetnya, Novan menemukan bahwa pada tahun 1991 Assyabab pernah mengikuti Piala Bentoel, Piala Tugu Muda, Piala Kasogi 1993, dan Piala Indocement 1993. Selain itu, sejak bernama An-Nasher, Assyaabaab telah berkontribusi menyumbangkan pemainnya untuk Persebaya dan PSSI, diantaranya Alwi bin Syech Abu Bakar, Saleh Mahri, Husein bin Agil, Abdullah al-Jufri, Ali Bahalwan, Ali Basofi, Abu Bakar Basofi, dan Abdullah Basofi (Teguh, 2018).
Jong Arabische Voetbal Vereeniging
Selain di Surabaya, klub asal komunitas Arab-Hadrami ternyata juga ada di Jakarta yang bernama Jong Arabische Voetbal Vereeniging (JAVV). Dalam pemilihan pengurus tanggal 23 Juni 1935, A.S. Alatas terpilih sebagai ketua JAVV, Abdullah Badjerei sebagai sekretaris, dan Hasan Argoebi sebagai pelindung.
Selama mengikuti kompetisi di VBO (Voetbalbond Batavia en Omstreken), permainan JAVV kurang begitu memuaskan. Sehingga pada akhirnya pada 10 Februari 1937, JAVV mengundurkan diri dari keanggotaan VBO. Sejak bulan Mei 1942, ketika penjajah Jepang datang ke Indonesia, Voetbalbond Indonesia Jacarta (VIJ) atau perkumpulan sepak bola Indonesia di Batavia telah dialihbahasakan menjadi Persatuan Sepak Bola Indonesia Jakarta (Persija) (Afif, 2020).
Adapun klub yang tergabung dalam Persija adalah Chung Hua (Tionghoa) dan Al-Foetoewah (Arab). Al-Foetoewah sendiri diketuai oleh mantan ketua JAVV, yakni A.S. Alatas. Pada tanggal 10 Januari, Al-Foetoewah mengadakan pertandingan amal dengan mengundang tim jago tua Persija, Tionghoa, dan Arab. Bung Karno turut serta memeriahkan penyelenggaraan dengan membuka tendangan pertama di pertandingan tersebut.
Dalam sejarahnya, Persija pernah dibela oleh pemain dan pelatih dari keturunan Arab, diantaranya Sutan Harharah, Umar Alatas, dan Salim Alaydrus. Adapun pelatih keturunan Arab yang pernah menangani Persija adalah Muhammad Zein al-Haddad pada ajang Torabika Soccer Championship 2016 (Afif, 2020). []
Dimas Sigit Cahyokusumo