LAPSUS

Hasbara dengan Gemerlap: Politik Kenikmatan Israel

Dari Sun City di masa apartheid hingga Woodstock di era Perang Vietnam, rezim kolonial dan imperialis selalu menggunakan hiburan untuk menutupi kebrutalan. Hari ini, parade kebanggaan Israel, budaya wisata, dan festival trance (pesta musik besar) berfungsi dengan cara yang sama.

Benjamin Ashraf, Penulis dan editor di The New Arab

Sekitar 6.000 km dari Gaza, di perbukitan Goa yang dipenuhi bakau, anak-anak muda Israel menghentakkan kaki mengikuti musik trance. Di sini, tak terdengar suara ibu-ibu meratap di atas kain kafan putih. Genosida terjadi di tempat lain — dan itulah maksudnya.

Di jalur-jalur backpacker, dari lembah Andes hingga pantai Thailand, adegan serupa berulang. Orang Israel menyebutnya tarmila’ut: sebuah “ritus peralihan” setelah wajib militer, kesempatan, kata DJ Zirkin, untuk “gila dengan damai”.

Dan ini bukan hanya untuk kaum hippie. Sebuah studi Israel tahun 2018 menyebutnya “hampir terlembagakan”, dengan perkiraan sekitar 50.000 orang bepergian setiap tahun setelah dinas militer. Dengan beberapa ribu dolar, agen perjalanan menawarkan “amnesti total”: tiket diskon, dapur kosher, dan hotel bintang lima — di mana orang Palestina tidak ada.

Baca juga: Kenali Hasbara, ‘Mesin’ Propaganda Israel Pembenar Genosida di Jalur Gaza

Dua tahun setelah pembantaian festival musik Nova, dan di tengah genosida di Gaza, gagasan “melarikan diri” mengambil makna berbeda. Orang Israel ingin bepergian ke luar negeri untuk lari dari ha’matzav, secara harfiah “situasi” — eufemisme absurd yang mereduksi penjajahan menjadi sekadar ketidaknyamanan. Bagi orang Palestina, tak ada jalan keluar: laut, langit, dan perbatasan Gaza ditutup. Saat orang Israel “gila dengan damai”, orang Palestina dipaksa gila tanpa damai.

Selama tiga tahun, mereka berdiri di pos pemeriksaan di Tepi Barat yang diduduki, tubuh kurus mereka mematikan karena senapan M16 di dada. Lalu negara praktis menyerahkan mereka ransel dan tiket sekali jalan. Ziarah ini bukan hanya hadiah atas apa yang telah mereka lakukan, tapi juga menyembunyikan kejahatan mereka di dalam kantong ransel, berharap tak pernah dibuka kembali.

Kesenangan untuk Sebagian

Tidak heran tarmila’ut hampir menjadi tradisi wajib di Israel; negara mendorongnya, sebagaimana ia berinvestasi dalam bentuk pelarian lain seperti Eurovision dan Brand Israel.

Dalam novel Brave New World karya Aldous Huxley, obat ‘negara soma’ tidak hanya menimbulkan rasa rileks dan bahagia; ia membantu penggunanya lupa. Eskapisme Israel bekerja dengan cara serupa; ia mengakui bahwa kesenangan pada dasarnya adalah politik.

Para diplomat Israel pun mengakuinya. “Kami melihat budaya sebagai alat propaganda kelas satu, dan saya tidak membedakan antara propaganda dan budaya,” kata Nissim Ben-Shitrit dari Kementerian Luar Negeri pada 2005. Tiga tahun kemudian, diplomat Israel lain, Ido Aharoni, mengatakan lebih lugas: “Lebih penting bagi Israel untuk terlihat menarik daripada benar.”

Mengekspor “budaya” Israel melakukan apa yang tidak bisa dilakukan juru bicara militer: menjual pendudukan sebagai gaya hidup, membuktikan bahwa kekerasan bisa berdampingan dengan normalitas, bahkan dengan kesenangan.

Di Israel, ia menawarkan katarsis tanpa konfrontasi, kesempatan untuk “kehilangan diri” sambil menyangkal genosida. Di ruang-ruang ini, orang Palestina tidak hanya dikecualikan; keberadaan mereka dianggap mengganggu kedamaian orang lain.

Di luar negeri, ia menggambarkan orang Israel sebagai ceria dan liberal, fantasi yang bisa dinikmati audiens Barat tanpa rasa bersalah. Orang Israel diperkenalkan sebagai “salah satu dari kita”; orang Palestina sebagai perusak pesta.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button