NUIM HIDAYAT

Abdullah bin Nuh, Pelanjut Imam Ghazali di Indonesia

Abdullah bin Nuh (1905-1987). Namanya tidak bisa dipisahkan dari nama Imam Ghazali. Ulama, cendekiawan, sastrawan, dan sejarawan ini bukan hanya dikenal sebagai penerjemah buku-buku al-Ghazali, tetapi juga mendirikan sebuah perguruan Islam bernama “Majlis al-Ghazali” yang berlokasi di Kota Bogor. Abdullah bin Nuh lahir di Cianjur, Jawa Barat, pada 30 Juni 1905 (26 Rabiul Tsani 1323H). Ia wafat di Bogor pada 26 Oktober 1987.

Abdullah bin Nuh memang terkenal dengan pemikirannya yang mendalam tentang Al Ghazali. Pertama, ia mengajar rutin kitab Ihya’ Ulumiddin dalam pengajian mingguan yang dihadiri banyak ustadz-ustadz di Bogor, Sukabumi, Cianjur dan sekitarnya. Kedua, ia sejak kecil di rumah mendapat pelajaran dari ayahnya Muhammad Nuh bin Idris, kitab-kitab Imam al Ghazali, diantaranya Ihya’ Ulumiddin. Ketiga, ia menamakan pesantrennya dengan nama Pesantren al Ghazali.

Menurut putra bungsunya Abdullah bin Nuh, Mustofa Abdullah bin Nuh, yang kini melanjutkan kepemimpinan di Perguruan Al Ghazali, pada awalnya tidak mudah untuk memperkenalkan pemikiran-pemikiran al-Ghazali di Bogor. Tidak sedikit orang-orang dekatnya yang menentang. Tapi, dengan ketekunannya, dia terus mengajar dan menulis tentang al-Ghazali, sehingga lama-kelamaan kesalahpahaman itu bisa dihilangkan.

Kiyai Mustofa yang kini menjabat Ketua MUI Bogor menceritakan, ayahnya memang mendapat pendidikan agama yang serius sejak kecil. Ketika umur belia, Abdullah telah menghafal kitab nahwu Alfiyah Ibn Malik. Ia juga pintar bergaul, santun dan ramah. Pendidikan formalnya ditempuh di Madrasah I’anat ath Thalibin Muslimin, Cianjur. Madrasah ini didirikan oleh ayahnya. Keluarganya menanamkan percakapan bahasa Arab di rumah sejak kecil. Hingga ia mengusai bahasa Arab baik lisan maupun tulisan. Disamping itu, Abdullah bin Nuh juga menguasai bahasa Inggris, Belanda, Jerman dan Perancis secara autodidak.

Kemampuannya dalam bahasa Arab memang mengagumkan. Abdullah bin Nuh mampu menggubah syair-syair dalam bahasa Arab. Ia juga menulis sejumlah buku dalam bahasa Arab. Mantan Menteri Agama, M. Maftuh Basyuni, yang pernah menjadi mahasiswanya di Jurusan Sastra Arab Universitas Indonesia, menceritakan bagaimana tingginya kemampuan bahasa Arab Abdullah bin Nuh. Di awal tahun 1960-an, Maftuh sempat membantu dosennya itu dalam menyiapkan naskah-naskah radio berbahasa Arab. Naskah yang disiapkan Maftuh selalu mendapat koreksi yang sangat teliti dari Abdullah bin Nuh. “Beliau sangat membimbing dan memberi semangat dalam mengkoreksi. Padahal, banyak sekali kesalahan yang saya buat,” kata Maftuh.

Selepas dari Madrasah Ianat ath Thalibin Muslimin, Abdullah melanjutkan pendidikannya ke Madrasah Arabiyah di kota Semarang. Madrasah ini dipilih karena diasuh oleh seorang ulama yang berilmu luas asal Hadramaut, Sayyid Muhammad bin Hasim bin Thahir al Alawi al Hadad al Hadrami. Ketika usianya menginjak 17 tahun, ia melanjutkan pendidikannya ke Surabaya sekaligus merintis berdirinya lembaga pendidikan bernama Hadramaut School. Lembaga inilah yang memberi ruang kepada Abdullah untuk mengoptimalkan potensi yang ada pada dirinya. Antara lain, mengajar, berdiskusi, ketrampilan berbahasa dan lainnya. Di Surabaya pula Abdullah menjadi seorang redaktur majalah mingguan berbahasa Arab, Hadramaut. (Lihat Herry Mohammad dkk., GIP:2006)

Kemahirannya dalam bahasa Arab mengantarkan Abdullah dikirim ke Universitas al Azhar, Kairo, Mesir. Di sana ia masuk ke Fakultas Syariah dan mendalami fiqih Mazhab Syafii. Setelah dua tahun belajar di Al Azhar, Abdullah berhasil mendapat gelar Syahadatul ‘Alimiyyah yang memberinya hak untuk mengajar ilmu-ilmu Keislaman. Ia lalu menetap di Ciwaringin Bogor dan mulai aktif berdakwah berbagai lembaga pendidikan di tanah air. Ia juga mendirikan Madrasah Pondok Sekolah Agama yang menjadi wadah bagi madrasah-madrasah yang ada di kota Bogor.

Pada masa mudanya, Abdullah juga gigih dalam memperjuangkan kemerdekaan tanah air dari penjajah Belanda. Ia pernah menjadi anggota Pembela Tanah Air (PETA), 1943-1945, wilayah Cianjur, Sukabumi dan Bogor. Tahun 1945-1946 ia memimpin Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Pada tahun 1948-1950, ia menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) di Yogyakarta. Saat di Yogyakarta itu ia juga menjadi Kepala Seksi Siaran Bahasa Arab pada Radio Republik Indonesia (RRI) Yogyakarta dan Dosen Luar Biasa pada Universitas Islam Indonesia (UII).

Pada tahun 1950-1964 Abdullah memegang jabatan sebagai Kepala Siaran Bahasa Arab pada RRI Jakarta. Kemudian ia menjabat sebagai Lektor Kepala Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Tahun 1969 ia mendirikan Majlis al Ghazali di Kota Paris Kota Bogor dan pada 29 Januari 1978 ia mendirikan Majlis al Ihya, di Ciomas, Bogor.

Lebih dari 20 buku telah dihasilkan oleh KH Abdullah bin Nuh dalam berbagai bahasa. Diantara karyanya yang terkenal adalah : (1) Kamus Indonesia-Inggris-Arab (bahasa Indonesia), (2) Cinta dan Bahagia (bahasa Indonesia), (3) Zakat dan Dunia Modern (bahasa Indonesia), (4) Ukhuwah Islamiyah (bahasa Indonesia), (5) Tafsir al Qur’an (bahasa Indonesia), (6) Studi Islam dan Sejarah Islam di Jawa Barat hingga Zaman Keemasan Banten (bahasa Indonesia), (7) Diwan ibn Nuh (syiir terdiri dari 118 kasidah, 2731 bait), (8) Ringkasan Minhajul Abidin (bahasa Sunda), (9) Al Alam al Islami (bahasa Arab), (10) Fi Zhilalil Ka’bah al Bait al Haram (bahasa Arab), (11) Ana Muslimun Sunniyun Syafi’iyyun (bahasa Arab), (12) Muallimul Arabiyyah (bahasa Arab), (13) Al Islam wa al Syubhat al Ashriyah (bahasa Arab), (14) Minhajul Abidin (terjemah ke bahasa Indonesia), (15) Al Munqidz min adl-Dlalal, (terjemah ke bahasa Indonesia), (16) Panutan Agung (terjemah ke bahasa Sunda).

Ada sejumlah sarjana yang menulis tentang Abdullah bin Nuh. Diantaranya adalah Prof. Dr. H. Ridho Masduki menulis Disertasi doktor tentang “Pemikiran Kalam dalam Diwan Ibn Nuh”. Drs. H. Iskandar Engku, menulis Tesis Master tentang “Ukhuwah Islamiyah menurut Konsep KH Abdullah bin Nuh.” E. Hidayat, menulis Skripsi untuk Sarjana S-1 tentang “KH Abdullah bin Nuh, Riwayat Hidup dan Perjuangannya.”. Dudi Supiandi, menulis Tesis Master tentang “Pemikiran KH Abdullah bin Nuh tentang Pendidikan Islam.”

Dr. Adian Husaini menuturkan pengalamannya berguru kepada Abdullah bin Nuh di Majlis al-Ghazali, Bogor. Ketika itu, Adian bersama sejumlah mahasiswa IPB secara rutin mengkaji kitab Ana Muslimun Sunniyyun Syafi’iyyun. Menurut Adian, jika pembahasan memasuki masalah-masalah khilafiah, beliau mengatakan, “Ini pendapat Mamak, terserah Ananda untuk mengambil pendapat yang lain.” Mamak adalah sebutan akrab untuk Abdullah bin Nuh. Beliau juga tetap berusaha melaksanakan shalat berjamaah di mushalla al-Ghazali, meskipun sambil duduk. “Kadangkala rakaat pertama masih berdiri, tapi rakaat kedua sudah shalat sambil duduk,” kenang Adian. II

Nuim Hidayat
Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Depok

Artikel Terkait

Back to top button