Anggota Komisi VIII: Framing DW Indonesia Soal Jilbab Sangat Berbahaya
Jakarta (SI Online)- Anggota DPR RI, Bukhori Yusuf angkat bicara terkait konten berita video DW Indonesia berjudul “Anak-anak, Dunia, dan Hijab.”
Konten ini menuai kontroversi dan menjadi perbincangan hangat di twitter sehingga sempat menduduki trending topic. Pasalnya, isi dari pemberitaan tersebut cenderung menyudutkan, karena menempatkan anak-anak beragama Islam sebagai pihak yang seolah dipaksa untuk mengenakan hijab di luar pilihan sadar.
“Bentuk framing seperti ini sangat berbahaya. Karena menempatkan anak-anak sebagai objek eksploitasi dari cara pandang liberal. Perlu dipahami, secara psikologis, anak-anak usia ini tidak sepenuhnya bersifat “otonom” alias mandiri sehingga dalam hal menentukan pilihan, mereka masih perlu intervensi khusus dari orang tua. Intervensi ini bisa berupa nasihat, bimbingan, arahan, dan berbagai tindakan pola asuh efektif sehingga membantu perkembangan sang anak,” ungkap Bukhori di Jakarta, Sabtu (26/9/2020)
Anggota Komisi VIII yang turut membidangi perempuan dan anak ini menjelaskan, intervensi orang tua, selanjutnya, akan membentuk basis pengetahuan bagi anak ketika mulai memasuki usia dewasa dalam rangka menunjang proses menimbang dan menentukan pilihan secara sadar. Walaupun demikian, proses menjadi sadar (conscious) tidak dicapai secara spontan. Terdapat sejumlah tahapan sosiologis yang perlu dijalani, yakni forming, norming, dan performing.
“Pertama, ada proses forming atau pembentukan. Pada fase ini intervensi orang tua sangat penting untuk membentuk karakter anak seperti apa. Interaksi antara anak dan orang tua yang dibangun secara intens dan intim akan menghasilkan ikatan emosional yang kuat dan hubungan antar individu yang saling mengenal dan memerlukan,”
“Selanjutnya, norming atau penanaman norma/nilai. Pada fase ini, anak secara perlahan mulai diajarkan tentang ajaran/tuntunan dalam berperilaku baik yang bersumber dari agama atau falsafah hidup. Melalui proses habituasi atau pembiasaan, nilai/norma tersebut ditanam secara perlahan dengan tetap memberikan pemahaman sesuai bahasa mereka dan pola didik yang mengedepankan kasih sayang,” sambungnya.
Terakhir adalah performing. Ini adalah fase dimana anak memiliki basis pengetahuan yang cukup sehingga memiliki pilihan sadar dalam menentukan suatu keputusan yang matang dan bertanggung jawab. Fase ini jelas tidak terjadi pada anak usia balita dan remaja. Pada fase ini, fungsi orang tua lebih kepada peran konsultatif dan tidak terlalu dominan dalam mempengaruhi keputusan anak.
“Setiap orang tua yang memegang teguh nilai agama,” demikian ungkap Bukhori, “selalu menginginkan masa depan yang baik bagi putra/putrinya, termasuk prinsip dalam menjalankan keyakinan/agama. Mengukir di atas tanah lebih mudah ketimbang mengukir di atas air. Artinya, lebih mudah mengarahkan anak pada hal baik sejak dini dibandingkan membimbing mereka saat sudah mencapai fase “pilihan sadar” alias dewasa,” paparnya.
Lebih lanjut, ia juga menyoroti argumen salah satu narasumber dalam konten video tersebut yang menyatakan kecemasannya atas potensi eksklusivisme pada anak ketika mencapai masa dewasa. Bukhori menilai argumen tersebut lemah dan naif apabila menganggap hal-hal baik seperti mengenal aurat dan ibadah sejak dini justru dianggap sebagai sebuah ancaman.
“Anak-anak yang tetap tumbuh dalam lingkungan yang heterogen ibarat ikan yang meskipun hidup di tengah laut, tidak terasa asin begitu keluar dari laut. Ini adalah falsafah dari pembiasaan berjilbab dan jenis ibadah lainnya yang dilakukan di masa kecil,” tukasnya.
“DW Indonesia harus meminta maaf atas kegaduhan publik yang ditimbulkan. Sangat tidak etis menyudutkan perkara yang menjadi ranah syariat bagi umat muslim,” pungkasnya.
red: farah abdillah